Sabtu, 14 September 2013

Bukan Sebabnya, Tapi Responsnya

Bukan Sebabnya, Tapi Responsnya
Oleh Eka Darmaputera


Terbujur di pembaringan, mengaduh di puncak kesakitan, biasanya membuat orang berfikir, "Ah, sekiranya saja Tuhan mau datang, dan bersedia menjelaskan apa sebab musabab semua penderitaan ini! Oh, waktu itu, betapa leganya hatiku, dan puasnya batinku - pasti! Aku akan mampu menerima "nasib"ku. Sebab paling sedikit kini aku mengerti, mengapa semua yang terjadi ini, terjadi".

Ayub - seperti kita -- juga pernah berfikir begitu. "Ah, kalau saja Tuhan mau datang -- sekali saja -- memberi penjelasan!" Dan dalam kasus Ayub, ternyata Tuhan benar-benar datang. "Dalam badai," begitu kata Ayub 40:1. Tapi legakah Ayub karenanya? Terpenuhikah harapan-harapannya? Jawabnya adalah: Tidak!

Pertama, kemungkinan besar Ayub - seperti kita - tentu membayangkan, bahwa Allah akan datang dengan kalimat-kalimat yang menghibur meneguhkan, dengan sikap hangat dan lembut kebapaan, dan dengan senyum yang menyalakan kembali harapan yang nyaris padam.

Memang sepantasnya begitu! Sebab bukankah Ayub adalah kekasih dan putra kebanggaan Allah! Dengarlah apa yang Ia katakan kepada Iblis, "Apakah engkau memperhatikan hamba-Ku Ayub? Sebab tiada seorang pun di bumi seperti dia, yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan" (Ayuib 1:8). Dan hamba kekasih serta kebanggaan Allah itu, kini sedang tertekan, kesakitan, dan menderita teramat sangat!

* * *

NAMUN itukah yang Allah lakukan? Datang dengan lembut, ramah dan sikap menghibur? Jawabnya adalah: Tidak! Sebaliknyalah, Ia datang dengan wajah merah padam. Mungkin mendobrak pintu, mungkin menggebrak meja, dan dengan suara mengguntur berkata, "Siapakah dia yang menggelapkan keputusan dengan perkataan-perkataan yang tidak berpengetahuan? Bersiaplah engkau sebagai laki-laki! Aku akan menanyai engkau, supaya engkau memberitahu Aku" (38:2-3). Astaga!

Saya bayangkan, Ayub pasti terpana. Shock berat. Mulutnya terbuka, matanya terbelalak, tak bisa percaya. Hal yang tak pernah ia harapkan bisa terjadi adalah, bahwa Allah datang membombardirnya dengan daftar pertanyaan yang panjang. Bukan membawa jawaban!

Tuhan seakan-akan tak peduli sedikit pun akan 35 pasal yang sarat dengan perdebatan dan kontroversi yang panas, yang sampai pada akhirnya tetap menyisakan pertanyaan-pertanyaan penting yang tak terjawab. Pendeta yang paling buruk pun, saya kira, tak akan tega melakukan seperti apa yang Allah lakukan, terhadap warga jemaatnya yang tengah limbung kehilangan pegangan di limbah kesakitan. Toh Allah melakukannya. Ini tentu sangat mengherankan!

Hal kedua yang kita baca adalah, bahwa Ia bukan hanya tidak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan Ayub - yang nota bene adalah pertanyaan-pertanyaann yang sah --, eee Ia malah berpidato panjang lebar mengenai hal-hal yang sama sekali tidak punya relevansi apa-apa.

Kepada orang yang sedang menderita kesakitan, Allah malah memberi kuliah atau ceramah tentang alam semesta. Tentang matahari trerbit, tentang hujan dan salju, tentang badai, tentang singa, tentang kambing hutan, tentang keledai liar, tentang burung onta, tentang kuda, tentang burung-burung. (Ayub 38 dan 39).

Setiap selesai menjelaskan satu pokok, Ia juga menyodok dengan pertanyaan yang membuat Ayub terhempas ke sudut, " Ayub, mampukah engkau sedikit saja meniru apa yang Aku lakukan? Apakah engkau cukup arif untuk memerintah dunia? Mempunyai lengan seperti lengan-Ku? Dan suara mengguntur seperti suara-Ku? Ayo jawab, Ayub, jawab!"

Kadang-kadang tidak puas dengan itu, jawaban Allah masih disertai pula dengan sarkasme yang menusuk hati, misalnya, "Tentu engkau mengenalnya, karena ketika itu engkau telah lahir, dan jumlah hari-harimu telah banyak" (38:21) Saya bayangkan nada yang mengejek dan mulut yang tersenyum sinis.

* * *

PERTANYAAN kita tentu adalah, mengapa Allah menjawab begitu, dan di saat-saat seperti itu? Mengapa Tuhan seolah-olah tidak mempedulikan luka batin Ayub? Terjang terus, sekali pun lawan telah jatuh?

Kelihatan dengan amat jelas, betapa Allah menolak memberi jawaban yang logis yang rinci, butir demi butir, mengenai sebab musabab kesakitan dan penderitaan. Ia juga menampik dengan tegas "tuntutan" Ayub untuk memberikan "pertanggung-jawaban". Ketika banyak orang Kristen mengangkat diri menjadi "pahlawan iman" dan "pembela" Allah dalam masalah kesakitan dan penderitaan ini, eee, Allah sendiri tidak merasa perlu membuat pembelaan diri atau "apologia". Allah tidak memerlukan pembelaan!

Apa sih yang sebenarnya Allah inginkan dari Ayub? Alkitab ingin memperlihatkan betapa Allah amat serius dengan apa yang Ia nyatakan. Bahwa isu kesakitan dan penderitaan bukanlah isu enteng, yang cukup dijawab dengan luapan -luapan spontan semata. Allah menuntut sikap yang benar dan tepat - bukan teori!

Apa yang Ia mau katakan? Ini: BAHWA SELAMA MANUSIA NYARIS TIDAK TAHU APA-APA TENTANG BEKERJANYA ALAM SEMESTA - TERMASUK HAL-HAL YANG KELIHATANNYA REMEH DAN BIASA (MATAHARI TERBIT DAN TENGGELAM, ANGIN TOPAN DAN HUJAN, SINGA DAN KAMBING HUTAN) - JANGANLAH IA BERLAGAK BISA MENJADI PENENTU APA YANG BENAR DAN APA YANG SALAH (= MORALITAS) DI ALAM INI. Terlebih-lebih, bila Tuhan pun mau ia adili!

Lalu apa yang Ia inginkan? Cuma satu ini: KEPASRAHAN DIRI YANG PENUH, UTUH DAN MENYELURUH KEPADA APA PUN - SEKALI LAGI, KEPADA APA PUN - YANG DIPERBUAT ALLAH. Janganlah pernah terpikir di benak Anda, untuk duduk di kursi hakim, lalu mengadili Allah, karena apa yang Ia lakukan sehubungan dengan kesakitan dan penderitaan manusia.

Selama Anda tak mampu mengatur datangnya musim kemarau dan musim penghujan, menciptakan mahluk-mahluk kecil seperti kecambah atau kecebong, Anda tidak berhak, dan tidak memenuhi syarat untuk mengadili Allah, sang Maha Pencipta.

Bersiaplah engkau sebagai laki-laki! Barangsiapa berniat untuk menghakimi Allah, biarlah ia terlebih dahulu meyadari kekecilannya dan kebesaran-Nya! Dan sebaiknya Anda percaya saja sepenuh hati Anda, bahwa Ia yang berkuasa mencipta kita dari tiada menjadi ada, masakan Ia tak berkuasa untuk memelihara dan menjaga kita?

* * *

DALAM kaitan ini, sungguh menarik mengikuti komentar Philip Yancey terhadap buku Harold Kushner, "When Bad Things Happen to Good People", yang amat termashur itu. Yancey mengritik Kushner, karena yang disebut belakangan - sekalipun percaya akan kebaikan Allah - toh mempertanyakan kemampuan serta kemahakuasaan-Nya.

Menurut Kushner, Allah itu baik. Ia tidak suka melihat anak-anak-Nya menderita. Ia pun berupaya mencegah dan menolong mereka. Tapi, apa boleh buat, Ia tak cukup mampu untuk itu. Mengapa? Karena Ia adalah Allah keadilan, bukan Allah kekuatan. Oleh karena itu, kita berharap terlalu banyak. Bukan sapunya yang salah, bukan, kalau sapu tersebut tidak dapat kita pakai untuk, misalnya, bermain musik?

Yancey mempertanyakan dalil Kushner ini. Atas dasar apakah ia dapat mengatakan, bahwa Allah seolah-olah berkata kepada Ayub, "Yub, maaf banget deh! Aku sebenarnya ingin menolong, tapi mau bagaimana lagi, Aku tak mampu"?

Sebaliknyalah, begitu Yancey, yang kita baca dalam kitab Ayub adalah, betapa Allah datang kepada Ayub untuk menyatakan kemaha-kuasaan-Nya! Ia tak pernah satu kalipun sekalipun minta maaf kepada Ayub atas ketidak-mampuan-Nya. Elie Wiesel pun berpendapat sama. Bila benar Allah adalah seperti yang ditulis oleh Rabi Kushner, katanya, Ia pantas untuk mundur, dan memberi kesempatan kepada yang lebih mampu untuk menggantikan-Nya.

* * *

SETELAH ini jelas, sekarang kita dapat kembali kepada pertanyaan utama kita: bagaimana seharusnya kita menyikapi kesakitan dan penderitaan kita? Bagaimana seharusnya kita memandangnya, memahaminya, menafsirkannya, dan kemudian menyikapinya?

Menjawab ini, kita hanya harus kembali kepada jalan pemikiran Yesus dalam Lukas 13 dan Yohanes 9. Di sini Yesus juga tidak ingin kita menghabiskan enersi serta mengarahkan konsentrasi kita kepada persoalan yang bersifat spekulatif, yang tidak mempunyai makna bagi kehidupan sehari-hari. Yaitu pertanyaan "mengapa?".

Kepada Ayub, secara implisit Allah ingin mengatakan, bahwa kalaupun Ia menjawabnya, Ayub toh tak akan mengerti juga. Seperti menjelaskan persoalan matematika tinggi kepada jebolan kelas 2 SD. Percuma!

Yang relevan bukanlah "mengapa"nya, melainkan "bagaimana merespon"nya. Apakah kita biarkan penderitaan itu mematahkan semangat kita dan memadamkan seluruh vitalitas hidup kita? Atau, walau amat terbatas dan lemah, kita masih dapat menjadikan hidup kita tetap bermakna? Saya selalu terharu melihat seorang bocah kecil yang walau tak dapat lagi menggunakan tangannya untuk melukis, ia tidak menyerah. Ia memakai mulutnya. ***

Buruan Tampar Gue, Dong

Buruan Tampar Gue, Dong
Oleh Eka Darmaputera

Yesus berkata, ”Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu” (Matius 5:39). Ya, siapa yang tidak kenal kata-kata ini?

Namun demikian, saya bayangkan, 99,9 persen orang ”waras” di dunia ini akan lebih sepaham dengan Nietzsche, yang mengatakan bahwa sikap seperti itu adalah sikap ”bunuh diri” (”suicidal”). Mula-mula menghancurkan diri sendiri. Akhirnya, meluluh-lantakkan seluruh peradaban dunia.

Betapa tidak! Anda pasti ingat apa yang dikatakan Charles Darwin. Dari pengamatan empirisnya, ia menyimpulkan bahwa ciri kehidupan yang terpenting adalah ”persaingan”. Untuk bisa ”survive” atau ”bertahan hidup”, semua makhluk mesti berjuang. Dan siapa yang berhasil ”survive”? Kata Darwin, yang ”survive” adalah makhluk yang paling ”pas”, paling ”cocok”, paling ”fit” dengan kondisi lingkungannya. Survival of the fittest.

Misalnya ada satu zaman, di mana alam sedemikian kerasnya, sehingga yang mampu bertahan hanyalah yang paling kuat dan paling besar. Tapi itu berubah. Digantikan oleh zaman, di mana ”kuat” dan ”besar” justru merupakan kelemahan. Sebab yang dibutuhkan adalah ”kelincahan” dan ”kecerdikan”.

Di sini berakhirlah masa kejayaan makhluk-makhluk raksasa dan perkasa, sejenis dinosaurus, brontosaurus, mastodon, dan sebagainya. Dan sebaliknya, justru makhluk-makhluk ”kecil” sebangsa kura-kura, buaya, dan biawak — yang lebih ”fit” – yang lebih mampu bertahan. Dan, tentu saja, ... manusia!

SURVIVAL of the fittest”. Makhluk macam apa yang paling ”fit”, atau paling memenuhi syarat, untuk mampu bertahan, memang bervariasi. Orang ”bule” lebih tahan di iklim dingin. Sedang orang ”keling” lebih nyaman di daerah panas. Tanaman teh tumbuh subur di Puncak, di daerah pegunungan Tapi jangan harap bisa bertahan di Parangtritis, di daerah pantai.

Ya. Tapi yang jelas, kapan pun dan di mana pun, menurut Nietzsche dan kawan-kawan, orang tak akan mampu survive dengan prinsip Yesus: ”ditampar pipi kiri, malah menawarkan pipi kanan”. Guna mampu bertahan – apa lagi berkembang –, kata mereka, diperlukan makhluk yang punya ”nilai lebih”. ”Uebermensch”. ”Super-human”.

Makhluk ini memang tidak mesti seperkasa Gatotkaca, berotot kawat bertulang besi. Namun yang pasti, ia juga bukan makhluk yang serba ”nrimo” walau ”dikuyo-kuyo”; artinya, manda diperlakukan apa saja. Yang bila ditampar, malah meminta, ”Buruan tampar lagi, dong!”. Sikap seperti ini tidak ”fit” untuk keadaan apa saja. Tidak bakalan mampu ”survive” di zaman kapan saja.

BISA saja dalam keadaan-keadaan tertentu, orang cuma bisa diam. Tidak mampu berbuat apa-apa. Misalnya, di masa jaya-jayanya rezim Orde Baru, siapa berani terang-terangan melawan Soeharto? Tak banyak. Tapi sikap ”tiarap” ini hanya boleh untuk sementara. Yaitu sampai tiba saat yang tepat untuk berdiri, untuk bertindak, untuk membalas. Kalau perlu, plus bunganya sekalian!

Ini baru bisa disebut sebagai sikap ”diam” yang bertanggung-jawab! Tapi bersikap seperti yang dianjurkan Yesus – ”ditampar pipi kanan, malah menawarkan pipi kiri”? Ini adalah sikap ”pecundang” yang tidak bertanggung-jawab.

Sebab bayangkanlah, bila seorang pengusaha, di tengah-tengah persaingan, berkata tergopoh-gopoh, ”Saya mengalah sajalah!”. Bila di tengah-tengah pemilu, seorang pemimpin parpol berkata dengan segera, ”Bila berminat, ambil sajalah konstituen saya”. Dan bila seorang komandan pasukan, ketika diserang, buru-buru mengibarkan bendera putih, ”Silakan Anda kuasai wilayah kami. Kami pergi!”

Terlebih-lebih bila sikap-sikap tidak wajar itu didasari oleh prinsip, ”Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat terhadap kamu”. Reaksi orang, tentu, ”Lha namanya saja ”orang berbuat jahat”. Kok tidak boleh dilawan sih? Apakah ini tidak sama dengan mempersilakan angkara murka bersimaharajalela dengan leluasa?” Benar inikah yang dimaksudkan oleh Yesus?

YANG pertama-tama harus kita katakan adalah, bahwa kita sungguh salah sangka bila mengira kata-kata Yesus tersebut adalah menganjurkan sikap lemah atau menyerah. Apabila ada orang yang karena takut, lalu buru-buru menawarkan pipinya untuk ditampar, maka, ya, ini memang adalah tanda kelemahan. Pengecut. Pecundang.

Tapi saya yakin, Anda tentu pernah menyaksikan adegan pilem, ketika dua jagoan siap berlaga. Yang satu bertubuh kecil, sedang lawannya berperawakan raksasa. Dengan lincahnya, si Kecil mengayunkan tinju dan memukul perut lawannya. Buuuk!

Tapi si Raksasa cuma tertawa mengejek. Ia malah mempersilakan si Kecil menghantam lagi perutnya. Dan lagi, dan lagi, dan lagi, sampai kelelahan sendiri. Perkenankanlah kini saya bertanya, sikap si Raksasa itu, apakah ini, menurut Anda, adalah tanda kelemahan?

SAMA SEKALI bukan maksud saya untuk mengatakan, bahwa orang Kristen dianjurkan untuk menyontek bulat-bulat sikap si Raksasa. Orang Kristen bukan raksasa. Ia ”Daud”, bukan ”Goliat”.

Sikap si Raksasa itu jelas-jelas mencerminkan sikap jumawa, sikap pede yang berlebih-lebihan, sikap memandang remeh kekuatan lawan. Kalau pun kelihatannya ia mengalah, itu cuma awal saja dari niat sebenarnya yang ada di hatnya. Yakni, niat membalas yang berlipat-ganda. Niat menghancurkan lawan habis-habisan. Sebab setelah si Kecil kehabisan tenaga, tibalah saat membuatnya jadi bulan-bulanan. Dihantam. Ditendang. Ditelikung. Dibanting. Dan si Raksasa itu akan tertawa terbahak-bahak. Puas.

Sikap kristiani yang dianjurkan Yesus, kita tahu, bukan begitu. Sebaliknya dari bersikap jumawa, orang Kristen dituntut rendah hati. Sebaliknya dari percaya berlebih-lebihan pada kemampuan diri sendiri, ia menggantungkan diri sepenuh-penuhnya pada kuasa Allah. Dan sebaliknya dari dibakar nafsu ingin membalas, ia rindu mengampuni.

TOH dari ilustrasi di atas, kita dapat menggali satu kebenaran penting. Yaitu bahwa sikap seperti yang dianjurkan Yesus itu, ternyata bisa lahir dari kekuatan dan keyakinan diri. Bukan, seperti tuduhan Nietzsche, tanda kelemahan dan sikap tidak berdaya semata-mata.

Dan kekuatan yang luar biasa! Mengapa? Sebab apa sih sebenarnya esensi yang paling hakiki dari kata-kata Yesus yang sedang kita bicarakan ini? Jelas bukan soal tampar-menampar.

Ketika Yesus sendiri mengalami – dengan mata tertutup — ditampar oleh serdadu-serdadu Romawi, apa yang Ia lakukan? Apakah Ia menyorongkan pipi-Nya yang sebelah lagi, seraya berkata, ”Buruan tampar gua lagi, dong!”? Tidak, bukan?

Sebaliknya, dengan penuh wibawa, Ia bertanya, ”Apa sebabnya, apa salahku, sehingga kalian menampar Aku?” Yesus yang ”terdakwa”, bersikap sebagai ”hakim” yang meminta pertanggung-jawaban mereka!

Yesus tidak ”tiarap”! Yesus tidak Cuma ”nrimo”! Karenanya, Ia juga mau agar pengikut-pengikut-Nya – Anda dan saya – juga begitu! Tidak menjilat-jilat, sekadar supaya selamat. Tidak menjual kehormatan, hanya supaya aman. Tidak menukar keyakinan, dengan kedudukan.

BILA tidak menyerah, lalu apa? Menurut pandangan dunia pada umumnya, satu-satunya alternatif yang tersedia, bila orang tidak menerima perlakuan orang lain, adalah — apa lagi — kalau bukan ”membalas”. ”Mata ganti mata, gigi ganti gigi, nyawa ganti nyawa”.

”Membalas” adalah sikap ”kodrati” manusia. Malah salah satu nilai yang terpuji! Misalnya, dari beberapa jenis ”keadilan” yang ada, ada satu yang disebut ”keadilan retributif”. Apa ini? Menurut pengertian ”keadilan retributif”, ”adil” itu artinya ialah, membalas orang setimpal dengan apa yang dilakukannya. Jadi, pahala bagi yang berbuat baik. Dan hukuman bagi yang berlaku jahat.

Yesus tidak menafikan perlunya ”pembalasan” atau ”hukuman”. Namun Ia juga menawarkan alternatif lain. Yang lebih luhur, yang lebih mulia, yang lebih ilahi. Yakni, bukan ”membalas” melainkan ”mengampuni”. Bukan ”membalas” melainkan ”mengasihi”.

Mengapa lebih luhur? Sebab ketika kita mampu mengendalikan kecenderungan kodrati kita untuk ”membalas”, itu berarti kita telah membuktikan kemampuan kita mengendalikan diri sendiri; mengontrol hawa-nafsu kita. Adakah yang lebih mulia dari pada ini?

Dan dengan itu kita menunjukkan kepada dunia, bagaimana kita memanfaatkan kekuatan yang kita miliki. Bukan untuk melanggengkan permusuhan, tapi mendatangkan perdamaian. Bukan untuk melukai, tapi menyembuhkan. Ini amat ilahi, bukan? *** 191004

Mengenang Th Sumartana (1944-2003)

Catatan-Catatan Lepas Mengenang Th Sumartana (1944-2003)
Oleh Eka Darmaputera


Seandainya ia tentara atau polisi, pastilah ia memperoleh kenaikan pangkat anumerta. Seandainya ia pejabat negara, pastilah ia dilepas dengan upacara kenegaraan dan dimakamkan di TMP. Tono, begitu panggilan akrabnya, meninggal dalam tugas. Di sebuah hotel di Cibogo, Jawa Barat, di tengah-tengah tugasnya sebagai ketua DEMOS, sebuah ornop baru konon dengan konsentrasi masalah-masalah demokrasi dan HAM.

Tapi Tono bukan tentara, polisi, atau pegawai negeri. Sebab itu ia meninggal begitu saja. Terkulai di kursi. Tanpa kenaikan pangkat, upacara kenegaraan, atau penganugerahan gelar pahlawan. Tanpa bunyi terompet, genderang, atau tembakan salvo. Malah, saya yakin, tanpa pensiun!

Toh ia tidak pergi dalam senyap. Media massa, baik cetak maupun elektronik, memberitakan kepergiannya. Di malam kepergiannya, Jumat 24 Januari 2003, teman-teman dan kerabatnya pergi pulang Jakarta-Ciawi untuk melihat jasadnya, dan melakukan apa yang perlu. Saya membaca, bahwa hujan lebat ternyata juga tidak menghalangi ribuan orang melayat jenazahnya di Salatiga sampai ke tempat pemakamannya di Pakem, Yogyakarta. Dan pasti lebih banyak lagi yang hanya bisa menangisi kepergiannya dari jauh. Termasuk saya sendiri, sebab baru saja keluar dari rumah sakit. Tono adalah teman dan saudara banyak sekali orang. Seorang penunjuk serta perintis jalan. Seorang pahlawan dan orang besar dalam arti yang sesungguhnya.

* * *

Saya sering membayangkan, bila saya tiba ke ajal nanti, barangkali Tono akan menulis sesuatu tentang saya. Semacam obituari, begitulah. Tapi Tuhan agaknya menentukan lain. Saya--yang 2 tahun lebih tua dan lebih berpenyakitan--yang kini harus menulis sesuatu, untuk mengenang kehidupannya sekaligus menghormati kematiannya.

Harus! Walau karena kesehatan saya yang buruk, tulisan ini agak terlambat dan agak dipaksakan. Ketika pertama kali mendengar berita duka itu, begitu banyak yang ingin saya lakukan. Tapi saya hanya bisa terkesiap dan tercenung, meneteskan air mata, sambil tubuh "terpasung" di tempat tidur. Dalam keadaan itu, setiap sayatan di hati, astaga, jauh lebih terasa perihnya.

Belum sebulan yang lalu, Tono datang ke rumah bersama Djohan Effendi, Zulkifli Lubis dan Elga Sarapung. Ia bercerita tentang penyakitnya, tetapi--dengan enteng--juga tentang ketidak-berdayaannya melawan godaan rokok dan sate kambing. "Orang seperti ini masih perlu dibebaskan dari keterpenjaraannya," kata Bung Zul.

Kini Tono telah "dibebaskan". Ia tak butuh rokok lagi. Boleh makan sate kambing atau gulai kepala ikan sepuas-puasnya. Tapi yang terpenting, ia kini berada di sebuah alam kehidupan, di mana batas-batas dan sekat-sekat antar agama--realitas yang menjadi pusat kepedulian, keprihatinan, serta konsentrasinya sampai akhir hidupnya--tak ada lagi.

Sebab yang ada "di sana" hanyalah kemanusiaan yang satu dan iman yang satu kepada Tuhan yang satu. Kalau "di sana" Tono kepingin bikin yayasan lagi, yayasan tersebut saya kira lebih pantas diberi nama Unio Fidei; ketimbang "Inter-Fidei". "Dialog dalam Iman" (= DIAM). Bukan lagi "Dialog antar Iman" (= DIAN). Setuju, Ton?

* * *

Nama Th. Sumartana mulai berkibar terutama setelah ia pulang dari negeri Belanda, dan mendirikan Yayasan Dialog-Antar-Iman "INTER FIDEI". Ini dilakukannya sebelum wadah-wadah sejenis semenjamur sekarang. Karena itu, betapa pun kontroversialnya, bersama-sama dengan tokoh-tokoh besar lain seperti Gus Dur dan Cak Nur, Sumartana pantas disebut sebagai salah seorang perintis, pembuka jalan, serta "dedengkot" gerakan dialog antaragama di Indonesia.

Khususnya di kalangan Kristen Protestan, ia membuka--dengan setengah paksa--jendela-jendela kesadaran tentang pentingnya teologi agama-agama (= theologia religionum), misiologi, bahkan kristologi yang baru. Dan ia mengabdikan hidupnya yang relatif singkat tapi produktif itu, dengan memberi contoh bagaimana seharusnya duduk, berdiri, dan berjalan bersama dengan orang-orang lain, di sebuah lorong terjal dan berbatu-batu yang bernama "Jalan Kemajemukan". Sayang, jendela-jendela itu, sampai kini, belum juga terbuka sepenuhnya. Dan masih terlampau sedikit orang yang bersedia berjalan di "Jalan Kemajemukan".

Markas "Inter Fidei" di Kompleks Banteng Baru, Yogyakarta, sengaja ia buat bukan hanya sebagai tempat di mana ide-ide akademis ber-"kawin-silang" dengan gaduhnya, tapi juga sebagai tempat di mana orang-orang muda dari berbagai latar belakang etnis, ras, agama, dan profesi bisa bersenda-gurau, saling mengejek, tanpa menjadi marah atau menyimpan dendam. Dialog-dialog tak terstrukturkan ini, walau daya jangkaunya mungkin tak luas, hasilnya bisa jauh intens, lebih mendalam, dan lebih awet. Lebih mampu mengubah pribadi, tidak sekadar mencerahkan akal-budi.

* * *

Tono dan saya, walau bersahabat erat, sebenarnya tidaklah sekubu sepemikiran. Bila mengambil tamsil dari dunia persilatan, kami berdua bukanlah saudara seperguruan. Di mata saya, pikiran-pikiran Tono sering saya anggap terlalu "liar" dan cenderung "dekonstruktif". Menarik untuk didengar, tapi kurang realistis mempertimbangkan betapa dahsyat implikasi dan konsekuensinya. Ibarat obat yang terlampau "keras" yang mau dipaksakan untuk tubuh yang terlalu "lemah". Di pihak lain, di pemandangan Tono, saya terlalu "santun", "tidak ada apa-apanya", "terlalu akomodatif". Kepada Martin Sinaga dari Jurnal Teologi "PROKLAMASI", Sumartana memberi penilaian pribadinya tentang saya, antara lain, "Waktu mahasiswa Eka adalah seorang mahasiswa yang menonjol dalam arti memiliki kemampuan berorganisasi. Kepemimpinannya di kalangan mahasiswa sangat mengesankan. Tetapi keberaniannya melakukan eksplorasi dalam pemikiran bagaimanapun tidak menonjol. Sama sekali tidak terkesan bahwa dia memiliki gagasan-gagasan yang diartikulasikan dengan canggih. Waktu itu dia hanya dikenal sebagai seorang Soekarnois, seorang kader dalam arti orang yang berusaha ikut dalam wacana Soekarnois.

Dalam teologi, Eka tidak menonjol sebagai pemikir yang reflektif. Dia sebenarnya mungkin lebih (ber)tipe solidarity-maker, bukan orang yang suka berdebat dan mengadu pendapat sehabis-habisnya. Dia selalu mengerem, tidak sampai pada pemikiran yang tuntas. Jadi dia mungkin dapat dikatakan sebagai teolog yang santun daripada seorang teolog yang terobsesi ..." (No.1/Th.1/2001 h. 21).

Penilaian Tono banyak benarnya. Tapi apa hendak dikata, Tono adalah bagaikan seorang penerbang solo; penerbang akrobatik. Sedang saya adalah penerbang pesawat jumbo, pesawat komersial, membawa banyak penumpang. Saya tidak bisa berakrobat. Tidak boleh, dan tidak mau.

Toh penilaiannya itu tidak menghalangi Tono untuk meminta saya mengetuai Inter-Fidei. Kesadaran bahwa kami berbeda memang membuat ia jarang melibatkan saya dalam pergulatan pemikiran di sana. Tapi bagi saya ini sudah cukup membuktikan jiwa serta semangat kemajemukan Sumartana. Ia bersedia mengundang saya untuk berjalan bersama, walau sadar kami berbeda. Dan saya pun menerima undangan itu dengan ikhlas dan sukacita. Sambil berusaha tahu diri akan "tempat" saya.

* * *

Perbedaan dalam pemikiran juga tidak sedikit pun mengganggu persahabatan kami dan antara keluarga kami. Kami telah saling mengenal lama sekali, sejak tahun 60-an. Bagi mereka yang tidak terlalu mengenal Tono pra-Inter-Fidei, dapat saya katakan bahwa sewaktu kami sama-sama mahasiswa dan hidup seasrama, saya pun tidak mengenal Tono sebagai "teolog".

Saya lebih mengenalnya sebagai--ini amat berbeda dengan saya--mahasiswa yang intens, serius, dan sedikit pendiam. Bakat-bakat seninya jauh lebih menonjol ketimbang minatnya berteologi. Ia penulis sajak dan esai yang andal, cerdas, dan mendalam. Juga seorang dramawan yang tangguh. Drama monolog yang ditulis, diperankan, dan disutradarainya sendiri, sampai kini masih berbekas di hati.

Kegemarannya akan kontroversi juga sangat terkenal. Saya tahu, bagaimana ia berperan sebagai "provokator", "tukang kipas", dan "pengatur strategi di belakang layar", dalam gerakan mahasiswa di asrama yang berusaha "menggulingkan" kepemimpinan saya. Ketika bertahun-tahun kemudian saya mengingatkannya tentang ini, dengan terbahak-bahak khas Tono ia menjawab, "Itu kan cuma buat bikin rame-rame saja. Ha, ha, ha!" Dua kali, saya ingat, ia dipercaya untuk menjadi ketua dua organisasi. Keduanya berakhir dengan heboh besar. Mengapa? Sebab yang ia lakukan bukanlah mengembangkan organisasi-organisasi itu, melainkan membubarkannya. Dua organisasi yang pernah mengalami "nasib buruk" itu adalah, "Persekutuan Mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi" dan "Kampus Diakonia Modern".

Yang juga tak dapat saya lupakan ialah, ketika saya dan istri--waktu itu masih pengantin baru--mengundang Tono dan Julius Syaranamual untuk tinggal bersama kami selama liburan. Baru di situ saya mendapati, bahwa walaupun mereka sudah hampir tamat dari STT, keduanya belum juga "mengaku percaya". Padahal ini adalah syarat mutlak untuk menjadi anggota penuh sebuah gereja. Lha bila jadi "anggota" saja tidak memenuhi syarat, bagaimana pula untuk menjadi "pendeta"?, pikir saya. Karena itu saya menawarkan kepada mereka untuk "mengaku percaya", tanpa perlu--seperti yang lain--mengikuti kursus pendalaman iman terlebih dulu. Tapi mengenal ke-nyentrik-an mereka, saya pun berpesan wanti-wanti, "Tolong ya, kalau ditanya pimpinan gereja nanti, jangan memberi jawaban yang "aneh-aneh". Munafik sedikit, tak apalah!" Ternyata mereka menurut juga. Dan saya pun lega.

* * *

Sejak aktif dalam gerakan-gerakan kemahasiswaan di tahun 70-an, sikap eksentriknya semakin hilang. Penampilan Tono semakin santun. Kegemarannya adalah mengenakan kemeja batik atau kemeja putih lengan panjang. Gaya bicaranya pun semakin penuh tenggang rasa. Sementara bakat seninya, entah bersembunyi di mana.

Tapi dalam gagasan dan wawasan, ia tetap Tono yang dulu. Intens, serius, keras kepala, kontroversial, terus mencari terobosan-terobosan baru, dan penuh kejutan. Studi formalnya membantunya memberi kedalaman dan koherensi kepada ide-ide spontan yang terus meletup-letup dari benaknya. Dan yang terpenting, seperti ungkapannya sendiri, ia tetap "garuda" yang tak gentar terbang sendiri. Bukan "bebek" yang mencari aman di tengah kerumunan.

Pertanyaannya adalah, akan kita biarkankah ia terus terbang sendirian? Saya menyadari benar, betapa kepergiannya yang amat tiba-tiba itu memperhadapkan kita kepada tantangan yang amat serius. Yaitu, terdorongkah kita untuk terbang bersama-sama dia?

Kepergian Tono, menurut saya, tidak cuma me-"legasi"-kan (= mewariskan) sebuah peta perjalanan serta begitu banyak aset pemikiran, tetapi juga men-"delegasi"-kan (= menyerahkan) segudang agenda yang mesti dikerjakan. Mulai dari cita-citanya mendirikan sebuah "Dialogue Center", sampai kepada yang jauh lebih praktis, misalnya perjalanan Inter Fidei selanjutnya.

Selamat jalan, Ton! Nikmatilah kebebasanmu sekarang! Biarlah yang lain, menjadi kecemasan kami! Mbak Cang, Dyah, Adi, dan Nugi, kuatkanlah hati kalian dan lanjutkanlah perjalanan kalian! Elga dan kawan-kawan, teruslah warisi "api"-nya dan lestarikan nyalanya! Agar "Jalan Kemajemukan" tak lagi sepengap sekarang.

* Penulis adalah Ketua Yayasan Dialog-Antar-Iman, sahabat dekat almarhum.

Dasa Titah yang Terlupakan

Dasa Titah yang Terlupakan
Oleh Eka Darmaputera

DALAM ibadah-ibadah kita kini, "Dasa Titah" nyaris tak pernah terdengar lagi. Tidak di gereja-gereja "tua" yang "tradisional", betapa lagi di gereja-gereja "baru" yang lebih "kontemporer".

"Tapi mengapa mesti berduka?", -- mungkin begitu Anda bertanya. Sebabnya adalah, karena bila dalam ibadah formal saja ia sudah dipandang sebelah mata, "nasib"nya dalam kehidupan nyata pasti jauh lebih merana dan terlunta-lunta. Dengan segala konsekuensinya.

Toh alasan yang dikemukakan banyak orang berhubung dengan kian hilangnya pamor warisan spiritual yang satu itu, mesti kita akui, kedengaran masuk akal juga. Pertama, kata mereka, adalah karena roh yang bertiup di zaman kita kini, adalah roh kemerdekaan. Dan setelah perjuangan yang panjang dan penuh pengorbanan meraihnya, manusia tak mau kehilangan itu lagi -- walau sedikit.

Manusia ingin memutuskan sendiri, apa yang boleh dan tak boleh ia lakukan. Dalam batas-batas tertentu, politik maupun agama, okelah, boleh-boleh saja mereka ikut mengatur. Tapi manusia jualah yang berhak menetapkan "apa", "sejauh mana", dan "bagaimana"nya. Manusia yang menentukan batas otoritas agama. Bukan seperti sebelumnya, agama yang menentukan batas kewenangan manusia.

Di tengah-tengah hiruk-pikuk sorak-sorai manusia yang mabuk kebebasan itu -- kontras sekali -- Dasa Titah adalah "HUKUM" - tak lebih dan tak kurang. Nota bene, "hukum" di mana manusia tak pernah sedikit pun diminta ikut merumuskan atau mempertimbangkannya. Nah, bila kita tidak diikut-sertakan dalam proses pembuatannya, wajar, bukan, bila kita juga tidak merasa terikat terhadap hasilnya? Begitulah Dasa Titah sedikit demi sedikit terdesak ke pinggiran.

APA yang saya kemukakan itu, memang tidak mengurangi penghargaan orang moderen terhadap Dasa Titah, sebagai salah satu warisan sejarah yang tak ternilai. Namun, ya begitulah, penghargaan tersebut adalah penghargaan yang sama seperti yang diberikan orang terhadap, misalnya, sebuah jambangan antik dari dinasti Ming.

Orang bisa takjub menatapi keindahannya. Berdecah kagum membayangkan perjalanan sejarahnya yang panjang. Tapi tidak lebih dari itu. Secara praktis, benda-benda itu tidak punya manfaat apa-apa. Tempat yang paling cocok, adalah tempat yang aman. Semakin sedikit disentuh orang, semakin baik.

Bagi Israel, Dasa Titah memang amat bermakna. Maksud saya, bagi mereka, dulu, dan di sana. Tapi bagi kita, sekarang, di sini? Orang Kristen Indonesia abad 21? Di Jakarta atau di Waikabubak? Di Gunung Sitoli atau di Muara Badak? Jawabnya adalah: "Tidak".

* * *

SEBAB ketiga mengapa bagi kita Dasa Titah dianggap tidak fungsional lagi adalah karena kita adalah "umat Perjanjian Baru" (PB). Dasa Titah adalah produk "Perjanjian Lama" (PL). Ia memang tidak kita buang.

Namun faktanya adalah ia telah dirumuskan ulang. Ia telah direformulasikan sekaligus direvitalisasikan menjadi "HUKUM KASIH" (Matius 22:34-40).

Bila sebuah buku telah dicetak-ulang, versi mana yang Anda cari? Tentu saja versi yang terbaru, bukan? Apa lagi, jangan Anda lupa, yang merumuskan ulang itu, hayo tebak, siapa dia? Ya! Tuhan kita sendiri! Dan . hasilnya jauh lebih cocok dengan alam berfikir orang sekarang.

Lebih "pas" dengan selera orang modern, yang tidak suka dilarang-larang apalagi diancam-ancam. Bukankah Dasa Titah, harus kita akui, memang cenderung negatif ("Jangan ini, jangan itu"), berbeda dengan Hukum Kasih yang lebih positif ("Hendaklah begini atau begitu" )?

Bila Anda tersesat, mana yang lebih bermanfaat: orang datang mengatakan, "Hey bung, jangan ke situ! Berbahaya!", atau, "Hey bung, Anda salah jalan! Mestinya Anda belok kanan!"? Yang kedua, bukan? Dasa Titah memberi peringatan bahwa orang telah salah jalan. Sedang Hukum Kasih memberi petunjuk, ke mana orang mesti putar haluan.

* * *

NAMUN bila orang dapat mengemukakan tiga alasan mengapa Dasa Titah layak untuk dilupakan, saya dapat mengemukakan jauh lebih banyak alasan mengapa kita justru perlu kembali mengingatnya. Mengapa kita mesti menyadari maknanya yang abadi, serta menemukan kembali kekayaan spiritualnya yang hilang.

Maksud saya, justru ketika orang cenderung mengabaikannya, saya merasa berkewajiban memunguti kembali nilai-nilainya yang tercecer di sepanjang perjalanan sejarah umat manusia. Mengapa? Sebab yang hilang itu tak lain adalah "sekrup-sekrup" peradaban manusia yang mengendor dan terlepas, dan yang telah membuat perjalanan hidup manusia terpincang-pincang, tersendat-sendat, tidak menyejahterakan. Bagaikan mesin yang baut-baut pengikatnya lepas satu demi satu.

Nanti akan saya jelaskan satu demi satu, hukum demi hukum, mengapa tiap-tiap pasal dari Dasa Titah mutlak perlu menempati tempat yang sentral dan vital dalam kehidupan manusia masa kini. Namun sebelumnya - demi meluruskan banyak kesalah-pahaman - sebuah gambaran menyeluruh mengapa Dasa Titah tetap relevan untuk kita bicarakan, rasanya perlu juga. Untuk ini, William Barclay, melalui buku kecilnya, "The Ten Commandments", sungguh membantu.

* * *

PERTAMA, Barclay menolak anggapan, bahwa semata-mata karena kita adalah "umat PB", maka serta-merta kita lalu punya alasan untuk mencampakkan semua yang berbau PL. Salah besar! Sebutan "PB" justru hendak mengingatkan, bahwa ia tidak muncul tiba-tiba. Bahwa ia punya akar sejarah. Bahwa ia punya ibu yang mengandung dan melahirkannya. PB lahir dari rahim PL.

Benar, Yesus Kristus adalah inti iman kristiani kita. Tapi jangan menyangka bahwa Yesus dapat kita fahami dalam ruang hampa. Tidak! PL adalah kesaksian tentang bagaimana Allah mempersiapkan kedatangan Yesus. Dan jangan sekali-kali Anda meremehkan sesuatu, hanya karena ia "cuma" persiapan!

Anda dapat mengatakan mengenal seseorang dengan baik, bila Anda juga mengenal akar dan latar-belakang sejarah yang bersangkutan. Seperti Anda juga akan lebih dapat menghargai apa yang Anda makan atau Anda kenakan, jika Anda tahu betapa mahal bahan-bahannya, dan betapa rumit proses pembuatannya.

Ketika Yesus memperkenalkan HUKUM KASIH, Ia tidak memperkenalkannya kepada sebuah umat yang tidak tahu apa-apa mengenai moralitas. Umat Israel sudah punya Dasa Titah. Dan sesuai dengan yang dikatakan-Nya, Ia datang bukan untuk membatalkannya, melainkan justru untuk menggenapinya! Apalagi HUKUM KASIH yang diperkenalkan-Nya itu, juga bukan orisinal ciptaan-Nya, melainkan Ia kutip dari Ulangan 6:5 -- dari PL!

Dasar dari Etika Kristen adalah Hukum Kasih. Benar! Tapi dasar dan akar dari Hukum Kasih adalah Dasa Titah. Tanpa mempelajari Dasa Titah, kita tak mungkin mengenal etika Kristen selengkap-lengkapnya. Sebab, seperti kata orang, buah jatuh tak jauh dari pohonnnya. Dan pohon bertumbuh dari akarnya.

* * *

KEDUA, Barclay juga menyangkal bahwa Dasa Titah adalah semata-mata etika-nya orang Yahudi dan orang Kristen. Tidak! Dasa Titah mengandung nilai-nilai yang universal. Setiap masyarakat dari bangsa, agama dan zaman apa pun, yang berniat membangun kehidupan bersama yang baik, tertib serta sejahtera, suka atau tidak suka, harus menyepakati nilai-nilai Dasa Titah sebagai pegangan normatif bersama. Tentu saja tak perlu dengan nama dan pengalimatan yang persis sama Karena yang penting adalah kandungan nilai-nilainya yang utama.

Dan sebaliknya, ketika nilai-nilai tersebut dinafikan, maka -- seperti yang terjadi sekarang --, kehidupan pun pasti porak poranda, lambat atau cepat Kapan itu terjadi?

Yaitu, (a) ketika orang memperilah yang bukan Allah, dan sekaligus menisbikan yang mutlak (Hukum I); (b) ketika orang memberhalakan yang kelihatan, sehingga hidupnya mengalami pendangkalan spiritual yang amat memprihatinkan (Hukum II); (c) ketika yang ilahi tidak dipermuliakan, tetapi dinafikan dan dihujat, dalam ucapan dan tindakan, khususnya dalam paradigma pemikiran (Hukum III); (d) ketika manusia punya waktu, perhatian, serta kepedulian bagi hampir semua perkara kehidupan, tetapi tidak untuk Allah. Akibatnya prioritas hidupnya terbalik-balik, bagaikan meletakkan kuda di belakang kereta (Hukum IV);

(e) ketika manusia tak lagi punya hormat dan respek yang tulus dan spontan terhadap apa pun dan siapa pun (Hukum V); (f) ketika manusia kehilangan penghargaan terhadap nilai kesucian hidup sesamanya (Hukum VI); (g) ketika manusia tak lagi mempunyai lagi wilayah-wilayah kehidupan yang sakral, unik dan eksklusif - termasuk kehidupan pernikahan dan kekeluargaannya (Hukum VII); (h) ketika manusia tidak menghormati hak milik pribadi serta privasi orang lain (Hukum VIII); (i) ketika manusia kehilangan integritas dan kredibilitas kata-katanya (Hukum IX); dan (j) ketika relasi antar manusia dinodai oleh rivalitas yang tidak sehat, serta perasaan dengki dan iri yang negatif dan destruktif (Hukum X).

* * *

ITULAH yang terjadi, ketika nilai-nilai Dasa Titah dionggokkan seperti sampah di pinggiran kehidupan. Apa yang sedang kita alami sekarang ini membuktikan, betapa manusia tidak cuma perlu "bebas", tapi juga perlu "batas". Dan bahwa pendekatan yang "negatif" ternyata ada gunanya juga. Dalam kaitan inilah, Dasa Titah masih sangat relevan. ***