Kamis, 12 September 2013

Aku adalah Aku


Aku Adalah Aku
Oleh Eka Darmaputera

Menurut pendapat Anda, Tuhan Allah itu laki-laki atau perempuan? Menurut keyakinan saya, orang yang ngotot mengatakan, Allah itu laki-laki sama bodohnya dan sama salahnya dengan mereka yang tanpa kompromi mengatakan bahwa Dia perempuan.

Allah adalah Allah, “AKU adalah AKU”, tak tergambarkan dan tak terjabarkan. Dia tak dapat kita katakan tinggi atau pendek, tua atau muda, hitam atau putih, laki-laki atau perempuan. Dia ada di dalam semua (tapi juga di luar semua) dan di atas semua (tapi juga di bawah semua).

Tentu saja saya sadar sepenuhnya bahwa Alkitab amat sering menyebut Allah sebagai “Bapak”. Yesus mengajar kita untuk mengalamatkan doa kita kepada “Bapa kami yang di surga”. Dan Dia juga pernah bercerita tentang “anak yang hilang” dan “bapak yang pengasih”. Dan macam-macam lagi. Namun demikian, bagi saya, ada begitu banyak hal yang dilakukan oleh Allah, yang lebih pantas untuk digambarkan sebagai tindakan seorang “ibu” daripada seorang “bapak”.

Perumpamaan Yesus tentang “Anak yang Hilang” itu misalnya, Dia benar-benar mengingatkan saya kepada si Kelik (bukan nama sebenarnya).

Saya mula-mula mengenal si Kelik ini sebagai seorang yang baik. Sayang sekali, ia mempunyai satu, atau lebih tepatnya, dua masalah. Namun, akibat dari dua masalah inilah, ia lalu mempunyai 2.002 masalah.

Kelik adalah pemabuk berat dan penjudi berat. Karena dua penyakit ini, ia bercerai dengan istrinya. Berulang-ulang dipecat dari pekerjaannya, bahkan dikucilkan dari gerejanya. Ayahnya (!) telah memasang iklan di surat kabar menyatakan tidak mengakui lagi si Kelik sebagai anak. Saudara-saudarinya, semuanya ada enam, tak satu pun mau menerimanya. Kelik kini hidup menggelandang.

Namun, ia masih datang juga dengan sembunyi-sembunyi untuk minta makan dan uang. Uang yang akan dibelikan minuman keras atau dihabiskan di meja judi. Tetapi tentu saja tak seorang pun mau memberikannya, kecuali sang ibu. Inilah yang membuat mereka marah, menuduh sang ibu lebih mencintai Kelik yang bobrok daripada mencintai mereka.

Pada suatu ketika, Kelik harus masuk rumah sakit jiwa dan harus ada yang mau menandatangani pernyataan pertanggungjawaban atas pembiayaannya. Sang ayah menolak. Semua saudara-saudarinya juga menolak. “Biarlah ia merasakan akibat tindakannya sendiri,” begitu kata mereka.

Hanya sang ibu yang mau menandatangani. Walaupun dengan menangis tersedih-sedih. Dan semua marah setengah mati. “Sungguh kami tak bisa mengerti, mengapa Ibu bisa bertindak lemah begini!”

Tentu saja mereka tidak mampu mengerti. Sebab mereka adalah ayah. Mereka adalah saudara atau saudari. Mereka adalah kakak atau adik. Bukan ibu.

Seorang ibu tahu betul bagaimana mengasihi anak, bagaimanapun tidak layaknya anak itu un-tuk dikasihi. Bagaimanapun tidak masuk akalnya kasih itu. Hanya ibu yang tahu itu. Bukan bapak atau yang lain.

Ini sama sekali bukan membenarkan begitu saja apa pun tindakan si anak. Yang salah tentu tetap saja salah. Sebab itu, mengasihi dengan sungguh tidak jarang diiringi rasa sakit yang pedih. Ibu si Kelik menandatangani surat pernyataan dengan air mata yang bercucuran. Allah menyayat hati-Nya sendiri dengan rela mengurbankan Sang Putra. Tetapi kasih selalu lebih besar dari apa pun. Lebih besar dari kesalahan yang mungkin dibuat oleh orang yang kita kasihi. Lebih besar dari rasa sakit yang mungkin kita tanggung demi orang yang kita kasihi.

Oleh karena itu, saya dapat lebih memahami tindakan kasih Allah itu sebagai tindakan seorang “ibu” daripada sebagai tindakan seorang “bapak”. Artinya, beruntunglah kita dan bersyukurlah Anda karena Allah tidak hanya mau bertindak sebagai seorang “bapak” yang adil, tetapi terutama sebagai seorang “ibu” yang penuh we-las asih.

Hanya karena kasih seorang “ibu”, kita da-pat memahami kalimat ini, “Kamu yang dahulu bukan umat Allah, sekarang telah menjadi umat-Nya; yang dahulu tidak dikasihani, sekarang telah beroleh belas kasihan” (1 Petrus 2:10).

Ayat ini diambil dari kisah Nabi Hosea yang, bagi saya, sensasional dan sama sekali tidak masuk akal, yaitu ketika Hosea bin Beeri diperintahkan oleh Tuhan sendiri untuk menikahi Gomer binti Diblaim, seorang perempuan sundal (tak dijelaskan kelas tinggi, rendah, atau menengah). “Pergilah, kawinilah seorang perempuan sundal dan peranakkanlah anak-anak sundal, karena negeri ini bersundal hebat dengan membelakangi Tuhan!” (1:2). Menurut saya, ini lebih mirip suara dan perintah seorang bapak yang sedang dibakar amarah yang amat besar.

Konon, dari pernikahan yang aneh itu lahirlah tiga orang anak yang mesti diberi nama yang aneh-aneh pula. Anak yang kedua, seorang pe-rempuan, diberi nama Lo-Ruhama, artinya: “tidak dikasihani”. Kemudian anak yang ketiga, seorang laki-laki mesti diberi nama Lo-Ami, artinya: “bukan umat”. Semua itu menggambarkan sikap “sang Bapak” yang marah terhadap anak-Nya, umat Israel, yang tidak setia. Israel adalah “lo-ruhama” dan “lo-ami”.

“Lo-Ruhama”, karena “Aku tidak akan menyayangi lagi kaum Israel, dan sama sekali tidak akan mengampuni mereka”. Dan “Lo-Ami”, karena “kamu ini bukanlah umat-Ku dan Aku ini bukanlah Allahmu” (1:6,9). (Sebab itu, nasihat saya, walaupun kedengaran enak, bila Anda mempunyai anak, janganlah Anda berikan kedua nama itu).

Namun, terpujilah Nama Tuhan karena Dia tidak hanya menyatakan diri sebagai seorang bapak yang pemberang, tetapi sekaligus sebagai seorang ibu yang pengampun. Di pasalnya yang kedua, kita membaca Tuhan berfirman, “Pada waktu itu, Aku akan mendengarkan langit, dan langit akan mendengarkan bumi. (Aku) akan menyayangi Lo-Ruhama, dan Aku (akan) berkata kepada Lo-Ami: Umat-Ku engkau! Dan ia akan berkata: Allahku!” (2:20,22).

Itulah latar belakang 1 Petrus 2:10 yang dikutip di atas, “Kamu yang dahulu ‘lo-ami’, sekarang telah menjadi ‘ami’; yang dahulu ‘lo-ruhama’, sekarang telah beroleh ‘ruhama’.”

Pola yang sama kita lihat pula dalam kisah tak lama setelah manusia jatuh ke dalam dosa. Sang Bapak segera datang dengan amarah. Ular dikutuk makan debu seumur hidup. Laki-laki dilaknat bekerja keras sepanjang usia. Dan perempuan ditentukan melahirkan dengan kesakitan yang amat sangat, lagi pula tertindas oleh laki-laki. Dan manusia pun diusir keluar dari Taman Eden.

Yang kita bayangkan di sini adalah anak-anak yang bandel menerima ganjarannya masing-masing dari Sang Bapak.

Namun, kemudian ada cerita yang mengharukan. Allah memberikan kepada manusia pakaian agar tak kedinginan di jalan. Gambaran apa lagi di sini, kecuali gambaran seorang ibu yang dengan amat berat hati melihat anak-anaknya diusir pergi dan tak membiarkan mereka pergi tanpa membekali mereka apa pun.

Salahlah kita bila kita memperdebatkan Allah itu laki-laki atau perempuan. Namun, tepatlah kita memahami Allah sebagai bapak dan ibu sekaligus. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar