Dasa
Titah yang Terlupakan
Oleh Eka Darmaputera
DALAM ibadah-ibadah kita kini, "Dasa Titah" nyaris tak pernah terdengar lagi. Tidak di gereja-gereja "tua" yang "tradisional", betapa lagi di gereja-gereja "baru" yang lebih "kontemporer".
"Tapi mengapa mesti berduka?", -- mungkin begitu Anda bertanya. Sebabnya adalah, karena bila dalam ibadah formal saja ia sudah dipandang sebelah mata, "nasib"nya dalam kehidupan nyata pasti jauh lebih merana dan terlunta-lunta. Dengan segala konsekuensinya.
Toh alasan yang dikemukakan banyak orang berhubung dengan kian hilangnya pamor warisan spiritual yang satu itu, mesti kita akui, kedengaran masuk akal juga. Pertama, kata mereka, adalah karena roh yang bertiup di zaman kita kini, adalah roh kemerdekaan. Dan setelah perjuangan yang panjang dan penuh pengorbanan meraihnya, manusia tak mau kehilangan itu lagi -- walau sedikit.
Manusia ingin memutuskan sendiri, apa yang boleh dan tak boleh ia lakukan. Dalam batas-batas tertentu, politik maupun agama, okelah, boleh-boleh saja mereka ikut mengatur. Tapi manusia jualah yang berhak menetapkan "apa", "sejauh mana", dan "bagaimana"nya. Manusia yang menentukan batas otoritas agama. Bukan seperti sebelumnya, agama yang menentukan batas kewenangan manusia.
Di tengah-tengah hiruk-pikuk sorak-sorai manusia yang mabuk kebebasan itu -- kontras sekali -- Dasa Titah adalah "HUKUM" - tak lebih dan tak kurang. Nota bene, "hukum" di mana manusia tak pernah sedikit pun diminta ikut merumuskan atau mempertimbangkannya. Nah, bila kita tidak diikut-sertakan dalam proses pembuatannya, wajar, bukan, bila kita juga tidak merasa terikat terhadap hasilnya? Begitulah Dasa Titah sedikit demi sedikit terdesak ke pinggiran.
APA yang saya kemukakan itu, memang tidak mengurangi penghargaan orang moderen terhadap Dasa Titah, sebagai salah satu warisan sejarah yang tak ternilai. Namun, ya begitulah, penghargaan tersebut adalah penghargaan yang sama seperti yang diberikan orang terhadap, misalnya, sebuah jambangan antik dari dinasti Ming.
Orang bisa takjub menatapi keindahannya. Berdecah kagum membayangkan perjalanan sejarahnya yang panjang. Tapi tidak lebih dari itu. Secara praktis, benda-benda itu tidak punya manfaat apa-apa. Tempat yang paling cocok, adalah tempat yang aman. Semakin sedikit disentuh orang, semakin baik.
Bagi Israel, Dasa Titah memang amat bermakna. Maksud saya, bagi mereka, dulu, dan di sana. Tapi bagi kita, sekarang, di sini? Orang Kristen Indonesia abad 21? Di Jakarta atau di Waikabubak? Di Gunung Sitoli atau di Muara Badak? Jawabnya adalah: "Tidak".
* * *
SEBAB ketiga mengapa bagi kita Dasa Titah dianggap tidak fungsional lagi adalah karena kita adalah "umat Perjanjian Baru" (PB). Dasa Titah adalah produk "Perjanjian Lama" (PL). Ia memang tidak kita buang.
Namun faktanya adalah ia telah dirumuskan ulang. Ia telah direformulasikan sekaligus direvitalisasikan menjadi "HUKUM KASIH" (Matius 22:34-40).
Bila sebuah buku telah dicetak-ulang, versi mana yang Anda cari? Tentu saja versi yang terbaru, bukan? Apa lagi, jangan Anda lupa, yang merumuskan ulang itu, hayo tebak, siapa dia? Ya! Tuhan kita sendiri! Dan . hasilnya jauh lebih cocok dengan alam berfikir orang sekarang.
Lebih "pas" dengan selera orang modern, yang tidak suka dilarang-larang apalagi diancam-ancam. Bukankah Dasa Titah, harus kita akui, memang cenderung negatif ("Jangan ini, jangan itu"), berbeda dengan Hukum Kasih yang lebih positif ("Hendaklah begini atau begitu" )?
Bila Anda tersesat, mana yang lebih bermanfaat: orang datang mengatakan, "Hey bung, jangan ke situ! Berbahaya!", atau, "Hey bung, Anda salah jalan! Mestinya Anda belok kanan!"? Yang kedua, bukan? Dasa Titah memberi peringatan bahwa orang telah salah jalan. Sedang Hukum Kasih memberi petunjuk, ke mana orang mesti putar haluan.
* * *
NAMUN bila orang dapat mengemukakan tiga alasan mengapa Dasa Titah layak untuk dilupakan, saya dapat mengemukakan jauh lebih banyak alasan mengapa kita justru perlu kembali mengingatnya. Mengapa kita mesti menyadari maknanya yang abadi, serta menemukan kembali kekayaan spiritualnya yang hilang.
Maksud saya, justru ketika orang cenderung mengabaikannya, saya merasa berkewajiban memunguti kembali nilai-nilainya yang tercecer di sepanjang perjalanan sejarah umat manusia. Mengapa? Sebab yang hilang itu tak lain adalah "sekrup-sekrup" peradaban manusia yang mengendor dan terlepas, dan yang telah membuat perjalanan hidup manusia terpincang-pincang, tersendat-sendat, tidak menyejahterakan. Bagaikan mesin yang baut-baut pengikatnya lepas satu demi satu.
Nanti akan saya jelaskan satu demi satu, hukum demi hukum, mengapa tiap-tiap pasal dari Dasa Titah mutlak perlu menempati tempat yang sentral dan vital dalam kehidupan manusia masa kini. Namun sebelumnya - demi meluruskan banyak kesalah-pahaman - sebuah gambaran menyeluruh mengapa Dasa Titah tetap relevan untuk kita bicarakan, rasanya perlu juga. Untuk ini, William Barclay, melalui buku kecilnya, "The Ten Commandments", sungguh membantu.
* * *
PERTAMA, Barclay menolak anggapan, bahwa semata-mata karena kita adalah "umat PB", maka serta-merta kita lalu punya alasan untuk mencampakkan semua yang berbau PL. Salah besar! Sebutan "PB" justru hendak mengingatkan, bahwa ia tidak muncul tiba-tiba. Bahwa ia punya akar sejarah. Bahwa ia punya ibu yang mengandung dan melahirkannya. PB lahir dari rahim PL.
Benar, Yesus Kristus adalah inti iman kristiani kita. Tapi jangan menyangka bahwa Yesus dapat kita fahami dalam ruang hampa. Tidak! PL adalah kesaksian tentang bagaimana Allah mempersiapkan kedatangan Yesus. Dan jangan sekali-kali Anda meremehkan sesuatu, hanya karena ia "cuma" persiapan!
Anda dapat mengatakan mengenal seseorang dengan baik, bila Anda juga mengenal akar dan latar-belakang sejarah yang bersangkutan. Seperti Anda juga akan lebih dapat menghargai apa yang Anda makan atau Anda kenakan, jika Anda tahu betapa mahal bahan-bahannya, dan betapa rumit proses pembuatannya.
Ketika Yesus memperkenalkan HUKUM KASIH, Ia tidak memperkenalkannya kepada sebuah umat yang tidak tahu apa-apa mengenai moralitas. Umat Israel sudah punya Dasa Titah. Dan sesuai dengan yang dikatakan-Nya, Ia datang bukan untuk membatalkannya, melainkan justru untuk menggenapinya! Apalagi HUKUM KASIH yang diperkenalkan-Nya itu, juga bukan orisinal ciptaan-Nya, melainkan Ia kutip dari Ulangan 6:5 -- dari PL!
Dasar dari Etika Kristen adalah Hukum Kasih. Benar! Tapi dasar dan akar dari Hukum Kasih adalah Dasa Titah. Tanpa mempelajari Dasa Titah, kita tak mungkin mengenal etika Kristen selengkap-lengkapnya. Sebab, seperti kata orang, buah jatuh tak jauh dari pohonnnya. Dan pohon bertumbuh dari akarnya.
* * *
KEDUA, Barclay juga menyangkal bahwa Dasa Titah adalah semata-mata etika-nya orang Yahudi dan orang Kristen. Tidak! Dasa Titah mengandung nilai-nilai yang universal. Setiap masyarakat dari bangsa, agama dan zaman apa pun, yang berniat membangun kehidupan bersama yang baik, tertib serta sejahtera, suka atau tidak suka, harus menyepakati nilai-nilai Dasa Titah sebagai pegangan normatif bersama. Tentu saja tak perlu dengan nama dan pengalimatan yang persis sama Karena yang penting adalah kandungan nilai-nilainya yang utama.
Dan sebaliknya, ketika nilai-nilai tersebut dinafikan, maka -- seperti yang terjadi sekarang --, kehidupan pun pasti porak poranda, lambat atau cepat Kapan itu terjadi?
Yaitu, (a) ketika orang memperilah yang bukan Allah, dan sekaligus menisbikan yang mutlak (Hukum I); (b) ketika orang memberhalakan yang kelihatan, sehingga hidupnya mengalami pendangkalan spiritual yang amat memprihatinkan (Hukum II); (c) ketika yang ilahi tidak dipermuliakan, tetapi dinafikan dan dihujat, dalam ucapan dan tindakan, khususnya dalam paradigma pemikiran (Hukum III); (d) ketika manusia punya waktu, perhatian, serta kepedulian bagi hampir semua perkara kehidupan, tetapi tidak untuk Allah. Akibatnya prioritas hidupnya terbalik-balik, bagaikan meletakkan kuda di belakang kereta (Hukum IV);
(e) ketika manusia tak lagi punya hormat dan respek yang tulus dan spontan terhadap apa pun dan siapa pun (Hukum V); (f) ketika manusia kehilangan penghargaan terhadap nilai kesucian hidup sesamanya (Hukum VI); (g) ketika manusia tak lagi mempunyai lagi wilayah-wilayah kehidupan yang sakral, unik dan eksklusif - termasuk kehidupan pernikahan dan kekeluargaannya (Hukum VII); (h) ketika manusia tidak menghormati hak milik pribadi serta privasi orang lain (Hukum VIII); (i) ketika manusia kehilangan integritas dan kredibilitas kata-katanya (Hukum IX); dan (j) ketika relasi antar manusia dinodai oleh rivalitas yang tidak sehat, serta perasaan dengki dan iri yang negatif dan destruktif (Hukum X).
* * *
ITULAH yang terjadi, ketika nilai-nilai Dasa Titah dionggokkan seperti sampah di pinggiran kehidupan. Apa yang sedang kita alami sekarang ini membuktikan, betapa manusia tidak cuma perlu "bebas", tapi juga perlu "batas". Dan bahwa pendekatan yang "negatif" ternyata ada gunanya juga. Dalam kaitan inilah, Dasa Titah masih sangat relevan. ***
Oleh Eka Darmaputera
DALAM ibadah-ibadah kita kini, "Dasa Titah" nyaris tak pernah terdengar lagi. Tidak di gereja-gereja "tua" yang "tradisional", betapa lagi di gereja-gereja "baru" yang lebih "kontemporer".
"Tapi mengapa mesti berduka?", -- mungkin begitu Anda bertanya. Sebabnya adalah, karena bila dalam ibadah formal saja ia sudah dipandang sebelah mata, "nasib"nya dalam kehidupan nyata pasti jauh lebih merana dan terlunta-lunta. Dengan segala konsekuensinya.
Toh alasan yang dikemukakan banyak orang berhubung dengan kian hilangnya pamor warisan spiritual yang satu itu, mesti kita akui, kedengaran masuk akal juga. Pertama, kata mereka, adalah karena roh yang bertiup di zaman kita kini, adalah roh kemerdekaan. Dan setelah perjuangan yang panjang dan penuh pengorbanan meraihnya, manusia tak mau kehilangan itu lagi -- walau sedikit.
Manusia ingin memutuskan sendiri, apa yang boleh dan tak boleh ia lakukan. Dalam batas-batas tertentu, politik maupun agama, okelah, boleh-boleh saja mereka ikut mengatur. Tapi manusia jualah yang berhak menetapkan "apa", "sejauh mana", dan "bagaimana"nya. Manusia yang menentukan batas otoritas agama. Bukan seperti sebelumnya, agama yang menentukan batas kewenangan manusia.
Di tengah-tengah hiruk-pikuk sorak-sorai manusia yang mabuk kebebasan itu -- kontras sekali -- Dasa Titah adalah "HUKUM" - tak lebih dan tak kurang. Nota bene, "hukum" di mana manusia tak pernah sedikit pun diminta ikut merumuskan atau mempertimbangkannya. Nah, bila kita tidak diikut-sertakan dalam proses pembuatannya, wajar, bukan, bila kita juga tidak merasa terikat terhadap hasilnya? Begitulah Dasa Titah sedikit demi sedikit terdesak ke pinggiran.
APA yang saya kemukakan itu, memang tidak mengurangi penghargaan orang moderen terhadap Dasa Titah, sebagai salah satu warisan sejarah yang tak ternilai. Namun, ya begitulah, penghargaan tersebut adalah penghargaan yang sama seperti yang diberikan orang terhadap, misalnya, sebuah jambangan antik dari dinasti Ming.
Orang bisa takjub menatapi keindahannya. Berdecah kagum membayangkan perjalanan sejarahnya yang panjang. Tapi tidak lebih dari itu. Secara praktis, benda-benda itu tidak punya manfaat apa-apa. Tempat yang paling cocok, adalah tempat yang aman. Semakin sedikit disentuh orang, semakin baik.
Bagi Israel, Dasa Titah memang amat bermakna. Maksud saya, bagi mereka, dulu, dan di sana. Tapi bagi kita, sekarang, di sini? Orang Kristen Indonesia abad 21? Di Jakarta atau di Waikabubak? Di Gunung Sitoli atau di Muara Badak? Jawabnya adalah: "Tidak".
* * *
SEBAB ketiga mengapa bagi kita Dasa Titah dianggap tidak fungsional lagi adalah karena kita adalah "umat Perjanjian Baru" (PB). Dasa Titah adalah produk "Perjanjian Lama" (PL). Ia memang tidak kita buang.
Namun faktanya adalah ia telah dirumuskan ulang. Ia telah direformulasikan sekaligus direvitalisasikan menjadi "HUKUM KASIH" (Matius 22:34-40).
Bila sebuah buku telah dicetak-ulang, versi mana yang Anda cari? Tentu saja versi yang terbaru, bukan? Apa lagi, jangan Anda lupa, yang merumuskan ulang itu, hayo tebak, siapa dia? Ya! Tuhan kita sendiri! Dan . hasilnya jauh lebih cocok dengan alam berfikir orang sekarang.
Lebih "pas" dengan selera orang modern, yang tidak suka dilarang-larang apalagi diancam-ancam. Bukankah Dasa Titah, harus kita akui, memang cenderung negatif ("Jangan ini, jangan itu"), berbeda dengan Hukum Kasih yang lebih positif ("Hendaklah begini atau begitu" )?
Bila Anda tersesat, mana yang lebih bermanfaat: orang datang mengatakan, "Hey bung, jangan ke situ! Berbahaya!", atau, "Hey bung, Anda salah jalan! Mestinya Anda belok kanan!"? Yang kedua, bukan? Dasa Titah memberi peringatan bahwa orang telah salah jalan. Sedang Hukum Kasih memberi petunjuk, ke mana orang mesti putar haluan.
* * *
NAMUN bila orang dapat mengemukakan tiga alasan mengapa Dasa Titah layak untuk dilupakan, saya dapat mengemukakan jauh lebih banyak alasan mengapa kita justru perlu kembali mengingatnya. Mengapa kita mesti menyadari maknanya yang abadi, serta menemukan kembali kekayaan spiritualnya yang hilang.
Maksud saya, justru ketika orang cenderung mengabaikannya, saya merasa berkewajiban memunguti kembali nilai-nilainya yang tercecer di sepanjang perjalanan sejarah umat manusia. Mengapa? Sebab yang hilang itu tak lain adalah "sekrup-sekrup" peradaban manusia yang mengendor dan terlepas, dan yang telah membuat perjalanan hidup manusia terpincang-pincang, tersendat-sendat, tidak menyejahterakan. Bagaikan mesin yang baut-baut pengikatnya lepas satu demi satu.
Nanti akan saya jelaskan satu demi satu, hukum demi hukum, mengapa tiap-tiap pasal dari Dasa Titah mutlak perlu menempati tempat yang sentral dan vital dalam kehidupan manusia masa kini. Namun sebelumnya - demi meluruskan banyak kesalah-pahaman - sebuah gambaran menyeluruh mengapa Dasa Titah tetap relevan untuk kita bicarakan, rasanya perlu juga. Untuk ini, William Barclay, melalui buku kecilnya, "The Ten Commandments", sungguh membantu.
* * *
PERTAMA, Barclay menolak anggapan, bahwa semata-mata karena kita adalah "umat PB", maka serta-merta kita lalu punya alasan untuk mencampakkan semua yang berbau PL. Salah besar! Sebutan "PB" justru hendak mengingatkan, bahwa ia tidak muncul tiba-tiba. Bahwa ia punya akar sejarah. Bahwa ia punya ibu yang mengandung dan melahirkannya. PB lahir dari rahim PL.
Benar, Yesus Kristus adalah inti iman kristiani kita. Tapi jangan menyangka bahwa Yesus dapat kita fahami dalam ruang hampa. Tidak! PL adalah kesaksian tentang bagaimana Allah mempersiapkan kedatangan Yesus. Dan jangan sekali-kali Anda meremehkan sesuatu, hanya karena ia "cuma" persiapan!
Anda dapat mengatakan mengenal seseorang dengan baik, bila Anda juga mengenal akar dan latar-belakang sejarah yang bersangkutan. Seperti Anda juga akan lebih dapat menghargai apa yang Anda makan atau Anda kenakan, jika Anda tahu betapa mahal bahan-bahannya, dan betapa rumit proses pembuatannya.
Ketika Yesus memperkenalkan HUKUM KASIH, Ia tidak memperkenalkannya kepada sebuah umat yang tidak tahu apa-apa mengenai moralitas. Umat Israel sudah punya Dasa Titah. Dan sesuai dengan yang dikatakan-Nya, Ia datang bukan untuk membatalkannya, melainkan justru untuk menggenapinya! Apalagi HUKUM KASIH yang diperkenalkan-Nya itu, juga bukan orisinal ciptaan-Nya, melainkan Ia kutip dari Ulangan 6:5 -- dari PL!
Dasar dari Etika Kristen adalah Hukum Kasih. Benar! Tapi dasar dan akar dari Hukum Kasih adalah Dasa Titah. Tanpa mempelajari Dasa Titah, kita tak mungkin mengenal etika Kristen selengkap-lengkapnya. Sebab, seperti kata orang, buah jatuh tak jauh dari pohonnnya. Dan pohon bertumbuh dari akarnya.
* * *
KEDUA, Barclay juga menyangkal bahwa Dasa Titah adalah semata-mata etika-nya orang Yahudi dan orang Kristen. Tidak! Dasa Titah mengandung nilai-nilai yang universal. Setiap masyarakat dari bangsa, agama dan zaman apa pun, yang berniat membangun kehidupan bersama yang baik, tertib serta sejahtera, suka atau tidak suka, harus menyepakati nilai-nilai Dasa Titah sebagai pegangan normatif bersama. Tentu saja tak perlu dengan nama dan pengalimatan yang persis sama Karena yang penting adalah kandungan nilai-nilainya yang utama.
Dan sebaliknya, ketika nilai-nilai tersebut dinafikan, maka -- seperti yang terjadi sekarang --, kehidupan pun pasti porak poranda, lambat atau cepat Kapan itu terjadi?
Yaitu, (a) ketika orang memperilah yang bukan Allah, dan sekaligus menisbikan yang mutlak (Hukum I); (b) ketika orang memberhalakan yang kelihatan, sehingga hidupnya mengalami pendangkalan spiritual yang amat memprihatinkan (Hukum II); (c) ketika yang ilahi tidak dipermuliakan, tetapi dinafikan dan dihujat, dalam ucapan dan tindakan, khususnya dalam paradigma pemikiran (Hukum III); (d) ketika manusia punya waktu, perhatian, serta kepedulian bagi hampir semua perkara kehidupan, tetapi tidak untuk Allah. Akibatnya prioritas hidupnya terbalik-balik, bagaikan meletakkan kuda di belakang kereta (Hukum IV);
(e) ketika manusia tak lagi punya hormat dan respek yang tulus dan spontan terhadap apa pun dan siapa pun (Hukum V); (f) ketika manusia kehilangan penghargaan terhadap nilai kesucian hidup sesamanya (Hukum VI); (g) ketika manusia tak lagi mempunyai lagi wilayah-wilayah kehidupan yang sakral, unik dan eksklusif - termasuk kehidupan pernikahan dan kekeluargaannya (Hukum VII); (h) ketika manusia tidak menghormati hak milik pribadi serta privasi orang lain (Hukum VIII); (i) ketika manusia kehilangan integritas dan kredibilitas kata-katanya (Hukum IX); dan (j) ketika relasi antar manusia dinodai oleh rivalitas yang tidak sehat, serta perasaan dengki dan iri yang negatif dan destruktif (Hukum X).
* * *
ITULAH yang terjadi, ketika nilai-nilai Dasa Titah dionggokkan seperti sampah di pinggiran kehidupan. Apa yang sedang kita alami sekarang ini membuktikan, betapa manusia tidak cuma perlu "bebas", tapi juga perlu "batas". Dan bahwa pendekatan yang "negatif" ternyata ada gunanya juga. Dalam kaitan inilah, Dasa Titah masih sangat relevan. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar