Catatan-Catatan
Lepas Mengenang Th Sumartana (1944-2003)
Oleh Eka Darmaputera
Seandainya ia tentara atau polisi, pastilah ia memperoleh kenaikan pangkat anumerta. Seandainya ia pejabat negara, pastilah ia dilepas dengan upacara kenegaraan dan dimakamkan di TMP. Tono, begitu panggilan akrabnya, meninggal dalam tugas. Di sebuah hotel di Cibogo, Jawa Barat, di tengah-tengah tugasnya sebagai ketua DEMOS, sebuah ornop baru konon dengan konsentrasi masalah-masalah demokrasi dan HAM.
Tapi Tono bukan tentara, polisi, atau pegawai negeri. Sebab itu ia meninggal begitu saja. Terkulai di kursi. Tanpa kenaikan pangkat, upacara kenegaraan, atau penganugerahan gelar pahlawan. Tanpa bunyi terompet, genderang, atau tembakan salvo. Malah, saya yakin, tanpa pensiun!
Toh ia tidak pergi dalam senyap. Media massa, baik cetak maupun elektronik, memberitakan kepergiannya. Di malam kepergiannya, Jumat 24 Januari 2003, teman-teman dan kerabatnya pergi pulang Jakarta-Ciawi untuk melihat jasadnya, dan melakukan apa yang perlu. Saya membaca, bahwa hujan lebat ternyata juga tidak menghalangi ribuan orang melayat jenazahnya di Salatiga sampai ke tempat pemakamannya di Pakem, Yogyakarta. Dan pasti lebih banyak lagi yang hanya bisa menangisi kepergiannya dari jauh. Termasuk saya sendiri, sebab baru saja keluar dari rumah sakit. Tono adalah teman dan saudara banyak sekali orang. Seorang penunjuk serta perintis jalan. Seorang pahlawan dan orang besar dalam arti yang sesungguhnya.
* * *
Saya sering membayangkan, bila saya tiba ke ajal nanti, barangkali Tono akan menulis sesuatu tentang saya. Semacam obituari, begitulah. Tapi Tuhan agaknya menentukan lain. Saya--yang 2 tahun lebih tua dan lebih berpenyakitan--yang kini harus menulis sesuatu, untuk mengenang kehidupannya sekaligus menghormati kematiannya.
Harus! Walau karena kesehatan saya yang buruk, tulisan ini agak terlambat dan agak dipaksakan. Ketika pertama kali mendengar berita duka itu, begitu banyak yang ingin saya lakukan. Tapi saya hanya bisa terkesiap dan tercenung, meneteskan air mata, sambil tubuh "terpasung" di tempat tidur. Dalam keadaan itu, setiap sayatan di hati, astaga, jauh lebih terasa perihnya.
Belum sebulan yang lalu, Tono datang ke rumah bersama Djohan Effendi, Zulkifli Lubis dan Elga Sarapung. Ia bercerita tentang penyakitnya, tetapi--dengan enteng--juga tentang ketidak-berdayaannya melawan godaan rokok dan sate kambing. "Orang seperti ini masih perlu dibebaskan dari keterpenjaraannya," kata Bung Zul.
Kini Tono telah "dibebaskan". Ia tak butuh rokok lagi. Boleh makan sate kambing atau gulai kepala ikan sepuas-puasnya. Tapi yang terpenting, ia kini berada di sebuah alam kehidupan, di mana batas-batas dan sekat-sekat antar agama--realitas yang menjadi pusat kepedulian, keprihatinan, serta konsentrasinya sampai akhir hidupnya--tak ada lagi.
Sebab yang ada "di sana" hanyalah kemanusiaan yang satu dan iman yang satu kepada Tuhan yang satu. Kalau "di sana" Tono kepingin bikin yayasan lagi, yayasan tersebut saya kira lebih pantas diberi nama Unio Fidei; ketimbang "Inter-Fidei". "Dialog dalam Iman" (= DIAM). Bukan lagi "Dialog antar Iman" (= DIAN). Setuju, Ton?
* * *
Nama Th. Sumartana mulai berkibar terutama setelah ia pulang dari negeri Belanda, dan mendirikan Yayasan Dialog-Antar-Iman "INTER FIDEI". Ini dilakukannya sebelum wadah-wadah sejenis semenjamur sekarang. Karena itu, betapa pun kontroversialnya, bersama-sama dengan tokoh-tokoh besar lain seperti Gus Dur dan Cak Nur, Sumartana pantas disebut sebagai salah seorang perintis, pembuka jalan, serta "dedengkot" gerakan dialog antaragama di Indonesia.
Khususnya di kalangan Kristen Protestan, ia membuka--dengan setengah paksa--jendela-jendela kesadaran tentang pentingnya teologi agama-agama (= theologia religionum), misiologi, bahkan kristologi yang baru. Dan ia mengabdikan hidupnya yang relatif singkat tapi produktif itu, dengan memberi contoh bagaimana seharusnya duduk, berdiri, dan berjalan bersama dengan orang-orang lain, di sebuah lorong terjal dan berbatu-batu yang bernama "Jalan Kemajemukan". Sayang, jendela-jendela itu, sampai kini, belum juga terbuka sepenuhnya. Dan masih terlampau sedikit orang yang bersedia berjalan di "Jalan Kemajemukan".
Markas "Inter Fidei" di Kompleks Banteng Baru, Yogyakarta, sengaja ia buat bukan hanya sebagai tempat di mana ide-ide akademis ber-"kawin-silang" dengan gaduhnya, tapi juga sebagai tempat di mana orang-orang muda dari berbagai latar belakang etnis, ras, agama, dan profesi bisa bersenda-gurau, saling mengejek, tanpa menjadi marah atau menyimpan dendam. Dialog-dialog tak terstrukturkan ini, walau daya jangkaunya mungkin tak luas, hasilnya bisa jauh intens, lebih mendalam, dan lebih awet. Lebih mampu mengubah pribadi, tidak sekadar mencerahkan akal-budi.
* * *
Tono dan saya, walau bersahabat erat, sebenarnya tidaklah sekubu sepemikiran. Bila mengambil tamsil dari dunia persilatan, kami berdua bukanlah saudara seperguruan. Di mata saya, pikiran-pikiran Tono sering saya anggap terlalu "liar" dan cenderung "dekonstruktif". Menarik untuk didengar, tapi kurang realistis mempertimbangkan betapa dahsyat implikasi dan konsekuensinya. Ibarat obat yang terlampau "keras" yang mau dipaksakan untuk tubuh yang terlalu "lemah". Di pihak lain, di pemandangan Tono, saya terlalu "santun", "tidak ada apa-apanya", "terlalu akomodatif". Kepada Martin Sinaga dari Jurnal Teologi "PROKLAMASI", Sumartana memberi penilaian pribadinya tentang saya, antara lain, "Waktu mahasiswa Eka adalah seorang mahasiswa yang menonjol dalam arti memiliki kemampuan berorganisasi. Kepemimpinannya di kalangan mahasiswa sangat mengesankan. Tetapi keberaniannya melakukan eksplorasi dalam pemikiran bagaimanapun tidak menonjol. Sama sekali tidak terkesan bahwa dia memiliki gagasan-gagasan yang diartikulasikan dengan canggih. Waktu itu dia hanya dikenal sebagai seorang Soekarnois, seorang kader dalam arti orang yang berusaha ikut dalam wacana Soekarnois.
Dalam teologi, Eka tidak menonjol sebagai pemikir yang reflektif. Dia sebenarnya mungkin lebih (ber)tipe solidarity-maker, bukan orang yang suka berdebat dan mengadu pendapat sehabis-habisnya. Dia selalu mengerem, tidak sampai pada pemikiran yang tuntas. Jadi dia mungkin dapat dikatakan sebagai teolog yang santun daripada seorang teolog yang terobsesi ..." (No.1/Th.1/2001 h. 21).
Penilaian Tono banyak benarnya. Tapi apa hendak dikata, Tono adalah bagaikan seorang penerbang solo; penerbang akrobatik. Sedang saya adalah penerbang pesawat jumbo, pesawat komersial, membawa banyak penumpang. Saya tidak bisa berakrobat. Tidak boleh, dan tidak mau.
Toh penilaiannya itu tidak menghalangi Tono untuk meminta saya mengetuai Inter-Fidei. Kesadaran bahwa kami berbeda memang membuat ia jarang melibatkan saya dalam pergulatan pemikiran di sana. Tapi bagi saya ini sudah cukup membuktikan jiwa serta semangat kemajemukan Sumartana. Ia bersedia mengundang saya untuk berjalan bersama, walau sadar kami berbeda. Dan saya pun menerima undangan itu dengan ikhlas dan sukacita. Sambil berusaha tahu diri akan "tempat" saya.
* * *
Perbedaan dalam pemikiran juga tidak sedikit pun mengganggu persahabatan kami dan antara keluarga kami. Kami telah saling mengenal lama sekali, sejak tahun 60-an. Bagi mereka yang tidak terlalu mengenal Tono pra-Inter-Fidei, dapat saya katakan bahwa sewaktu kami sama-sama mahasiswa dan hidup seasrama, saya pun tidak mengenal Tono sebagai "teolog".
Saya lebih mengenalnya sebagai--ini amat berbeda dengan saya--mahasiswa yang intens, serius, dan sedikit pendiam. Bakat-bakat seninya jauh lebih menonjol ketimbang minatnya berteologi. Ia penulis sajak dan esai yang andal, cerdas, dan mendalam. Juga seorang dramawan yang tangguh. Drama monolog yang ditulis, diperankan, dan disutradarainya sendiri, sampai kini masih berbekas di hati.
Kegemarannya akan kontroversi juga sangat terkenal. Saya tahu, bagaimana ia berperan sebagai "provokator", "tukang kipas", dan "pengatur strategi di belakang layar", dalam gerakan mahasiswa di asrama yang berusaha "menggulingkan" kepemimpinan saya. Ketika bertahun-tahun kemudian saya mengingatkannya tentang ini, dengan terbahak-bahak khas Tono ia menjawab, "Itu kan cuma buat bikin rame-rame saja. Ha, ha, ha!" Dua kali, saya ingat, ia dipercaya untuk menjadi ketua dua organisasi. Keduanya berakhir dengan heboh besar. Mengapa? Sebab yang ia lakukan bukanlah mengembangkan organisasi-organisasi itu, melainkan membubarkannya. Dua organisasi yang pernah mengalami "nasib buruk" itu adalah, "Persekutuan Mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi" dan "Kampus Diakonia Modern".
Yang juga tak dapat saya lupakan ialah, ketika saya dan istri--waktu itu masih pengantin baru--mengundang Tono dan Julius Syaranamual untuk tinggal bersama kami selama liburan. Baru di situ saya mendapati, bahwa walaupun mereka sudah hampir tamat dari STT, keduanya belum juga "mengaku percaya". Padahal ini adalah syarat mutlak untuk menjadi anggota penuh sebuah gereja. Lha bila jadi "anggota" saja tidak memenuhi syarat, bagaimana pula untuk menjadi "pendeta"?, pikir saya. Karena itu saya menawarkan kepada mereka untuk "mengaku percaya", tanpa perlu--seperti yang lain--mengikuti kursus pendalaman iman terlebih dulu. Tapi mengenal ke-nyentrik-an mereka, saya pun berpesan wanti-wanti, "Tolong ya, kalau ditanya pimpinan gereja nanti, jangan memberi jawaban yang "aneh-aneh". Munafik sedikit, tak apalah!" Ternyata mereka menurut juga. Dan saya pun lega.
* * *
Sejak aktif dalam gerakan-gerakan kemahasiswaan di tahun 70-an, sikap eksentriknya semakin hilang. Penampilan Tono semakin santun. Kegemarannya adalah mengenakan kemeja batik atau kemeja putih lengan panjang. Gaya bicaranya pun semakin penuh tenggang rasa. Sementara bakat seninya, entah bersembunyi di mana.
Tapi dalam gagasan dan wawasan, ia tetap Tono yang dulu. Intens, serius, keras kepala, kontroversial, terus mencari terobosan-terobosan baru, dan penuh kejutan. Studi formalnya membantunya memberi kedalaman dan koherensi kepada ide-ide spontan yang terus meletup-letup dari benaknya. Dan yang terpenting, seperti ungkapannya sendiri, ia tetap "garuda" yang tak gentar terbang sendiri. Bukan "bebek" yang mencari aman di tengah kerumunan.
Pertanyaannya adalah, akan kita biarkankah ia terus terbang sendirian? Saya menyadari benar, betapa kepergiannya yang amat tiba-tiba itu memperhadapkan kita kepada tantangan yang amat serius. Yaitu, terdorongkah kita untuk terbang bersama-sama dia?
Kepergian Tono, menurut saya, tidak cuma me-"legasi"-kan (= mewariskan) sebuah peta perjalanan serta begitu banyak aset pemikiran, tetapi juga men-"delegasi"-kan (= menyerahkan) segudang agenda yang mesti dikerjakan. Mulai dari cita-citanya mendirikan sebuah "Dialogue Center", sampai kepada yang jauh lebih praktis, misalnya perjalanan Inter Fidei selanjutnya.
Selamat jalan, Ton! Nikmatilah kebebasanmu sekarang! Biarlah yang lain, menjadi kecemasan kami! Mbak Cang, Dyah, Adi, dan Nugi, kuatkanlah hati kalian dan lanjutkanlah perjalanan kalian! Elga dan kawan-kawan, teruslah warisi "api"-nya dan lestarikan nyalanya! Agar "Jalan Kemajemukan" tak lagi sepengap sekarang.
* Penulis adalah Ketua Yayasan Dialog-Antar-Iman, sahabat dekat almarhum.
Oleh Eka Darmaputera
Seandainya ia tentara atau polisi, pastilah ia memperoleh kenaikan pangkat anumerta. Seandainya ia pejabat negara, pastilah ia dilepas dengan upacara kenegaraan dan dimakamkan di TMP. Tono, begitu panggilan akrabnya, meninggal dalam tugas. Di sebuah hotel di Cibogo, Jawa Barat, di tengah-tengah tugasnya sebagai ketua DEMOS, sebuah ornop baru konon dengan konsentrasi masalah-masalah demokrasi dan HAM.
Tapi Tono bukan tentara, polisi, atau pegawai negeri. Sebab itu ia meninggal begitu saja. Terkulai di kursi. Tanpa kenaikan pangkat, upacara kenegaraan, atau penganugerahan gelar pahlawan. Tanpa bunyi terompet, genderang, atau tembakan salvo. Malah, saya yakin, tanpa pensiun!
Toh ia tidak pergi dalam senyap. Media massa, baik cetak maupun elektronik, memberitakan kepergiannya. Di malam kepergiannya, Jumat 24 Januari 2003, teman-teman dan kerabatnya pergi pulang Jakarta-Ciawi untuk melihat jasadnya, dan melakukan apa yang perlu. Saya membaca, bahwa hujan lebat ternyata juga tidak menghalangi ribuan orang melayat jenazahnya di Salatiga sampai ke tempat pemakamannya di Pakem, Yogyakarta. Dan pasti lebih banyak lagi yang hanya bisa menangisi kepergiannya dari jauh. Termasuk saya sendiri, sebab baru saja keluar dari rumah sakit. Tono adalah teman dan saudara banyak sekali orang. Seorang penunjuk serta perintis jalan. Seorang pahlawan dan orang besar dalam arti yang sesungguhnya.
* * *
Saya sering membayangkan, bila saya tiba ke ajal nanti, barangkali Tono akan menulis sesuatu tentang saya. Semacam obituari, begitulah. Tapi Tuhan agaknya menentukan lain. Saya--yang 2 tahun lebih tua dan lebih berpenyakitan--yang kini harus menulis sesuatu, untuk mengenang kehidupannya sekaligus menghormati kematiannya.
Harus! Walau karena kesehatan saya yang buruk, tulisan ini agak terlambat dan agak dipaksakan. Ketika pertama kali mendengar berita duka itu, begitu banyak yang ingin saya lakukan. Tapi saya hanya bisa terkesiap dan tercenung, meneteskan air mata, sambil tubuh "terpasung" di tempat tidur. Dalam keadaan itu, setiap sayatan di hati, astaga, jauh lebih terasa perihnya.
Belum sebulan yang lalu, Tono datang ke rumah bersama Djohan Effendi, Zulkifli Lubis dan Elga Sarapung. Ia bercerita tentang penyakitnya, tetapi--dengan enteng--juga tentang ketidak-berdayaannya melawan godaan rokok dan sate kambing. "Orang seperti ini masih perlu dibebaskan dari keterpenjaraannya," kata Bung Zul.
Kini Tono telah "dibebaskan". Ia tak butuh rokok lagi. Boleh makan sate kambing atau gulai kepala ikan sepuas-puasnya. Tapi yang terpenting, ia kini berada di sebuah alam kehidupan, di mana batas-batas dan sekat-sekat antar agama--realitas yang menjadi pusat kepedulian, keprihatinan, serta konsentrasinya sampai akhir hidupnya--tak ada lagi.
Sebab yang ada "di sana" hanyalah kemanusiaan yang satu dan iman yang satu kepada Tuhan yang satu. Kalau "di sana" Tono kepingin bikin yayasan lagi, yayasan tersebut saya kira lebih pantas diberi nama Unio Fidei; ketimbang "Inter-Fidei". "Dialog dalam Iman" (= DIAM). Bukan lagi "Dialog antar Iman" (= DIAN). Setuju, Ton?
* * *
Nama Th. Sumartana mulai berkibar terutama setelah ia pulang dari negeri Belanda, dan mendirikan Yayasan Dialog-Antar-Iman "INTER FIDEI". Ini dilakukannya sebelum wadah-wadah sejenis semenjamur sekarang. Karena itu, betapa pun kontroversialnya, bersama-sama dengan tokoh-tokoh besar lain seperti Gus Dur dan Cak Nur, Sumartana pantas disebut sebagai salah seorang perintis, pembuka jalan, serta "dedengkot" gerakan dialog antaragama di Indonesia.
Khususnya di kalangan Kristen Protestan, ia membuka--dengan setengah paksa--jendela-jendela kesadaran tentang pentingnya teologi agama-agama (= theologia religionum), misiologi, bahkan kristologi yang baru. Dan ia mengabdikan hidupnya yang relatif singkat tapi produktif itu, dengan memberi contoh bagaimana seharusnya duduk, berdiri, dan berjalan bersama dengan orang-orang lain, di sebuah lorong terjal dan berbatu-batu yang bernama "Jalan Kemajemukan". Sayang, jendela-jendela itu, sampai kini, belum juga terbuka sepenuhnya. Dan masih terlampau sedikit orang yang bersedia berjalan di "Jalan Kemajemukan".
Markas "Inter Fidei" di Kompleks Banteng Baru, Yogyakarta, sengaja ia buat bukan hanya sebagai tempat di mana ide-ide akademis ber-"kawin-silang" dengan gaduhnya, tapi juga sebagai tempat di mana orang-orang muda dari berbagai latar belakang etnis, ras, agama, dan profesi bisa bersenda-gurau, saling mengejek, tanpa menjadi marah atau menyimpan dendam. Dialog-dialog tak terstrukturkan ini, walau daya jangkaunya mungkin tak luas, hasilnya bisa jauh intens, lebih mendalam, dan lebih awet. Lebih mampu mengubah pribadi, tidak sekadar mencerahkan akal-budi.
* * *
Tono dan saya, walau bersahabat erat, sebenarnya tidaklah sekubu sepemikiran. Bila mengambil tamsil dari dunia persilatan, kami berdua bukanlah saudara seperguruan. Di mata saya, pikiran-pikiran Tono sering saya anggap terlalu "liar" dan cenderung "dekonstruktif". Menarik untuk didengar, tapi kurang realistis mempertimbangkan betapa dahsyat implikasi dan konsekuensinya. Ibarat obat yang terlampau "keras" yang mau dipaksakan untuk tubuh yang terlalu "lemah". Di pihak lain, di pemandangan Tono, saya terlalu "santun", "tidak ada apa-apanya", "terlalu akomodatif". Kepada Martin Sinaga dari Jurnal Teologi "PROKLAMASI", Sumartana memberi penilaian pribadinya tentang saya, antara lain, "Waktu mahasiswa Eka adalah seorang mahasiswa yang menonjol dalam arti memiliki kemampuan berorganisasi. Kepemimpinannya di kalangan mahasiswa sangat mengesankan. Tetapi keberaniannya melakukan eksplorasi dalam pemikiran bagaimanapun tidak menonjol. Sama sekali tidak terkesan bahwa dia memiliki gagasan-gagasan yang diartikulasikan dengan canggih. Waktu itu dia hanya dikenal sebagai seorang Soekarnois, seorang kader dalam arti orang yang berusaha ikut dalam wacana Soekarnois.
Dalam teologi, Eka tidak menonjol sebagai pemikir yang reflektif. Dia sebenarnya mungkin lebih (ber)tipe solidarity-maker, bukan orang yang suka berdebat dan mengadu pendapat sehabis-habisnya. Dia selalu mengerem, tidak sampai pada pemikiran yang tuntas. Jadi dia mungkin dapat dikatakan sebagai teolog yang santun daripada seorang teolog yang terobsesi ..." (No.1/Th.1/2001 h. 21).
Penilaian Tono banyak benarnya. Tapi apa hendak dikata, Tono adalah bagaikan seorang penerbang solo; penerbang akrobatik. Sedang saya adalah penerbang pesawat jumbo, pesawat komersial, membawa banyak penumpang. Saya tidak bisa berakrobat. Tidak boleh, dan tidak mau.
Toh penilaiannya itu tidak menghalangi Tono untuk meminta saya mengetuai Inter-Fidei. Kesadaran bahwa kami berbeda memang membuat ia jarang melibatkan saya dalam pergulatan pemikiran di sana. Tapi bagi saya ini sudah cukup membuktikan jiwa serta semangat kemajemukan Sumartana. Ia bersedia mengundang saya untuk berjalan bersama, walau sadar kami berbeda. Dan saya pun menerima undangan itu dengan ikhlas dan sukacita. Sambil berusaha tahu diri akan "tempat" saya.
* * *
Perbedaan dalam pemikiran juga tidak sedikit pun mengganggu persahabatan kami dan antara keluarga kami. Kami telah saling mengenal lama sekali, sejak tahun 60-an. Bagi mereka yang tidak terlalu mengenal Tono pra-Inter-Fidei, dapat saya katakan bahwa sewaktu kami sama-sama mahasiswa dan hidup seasrama, saya pun tidak mengenal Tono sebagai "teolog".
Saya lebih mengenalnya sebagai--ini amat berbeda dengan saya--mahasiswa yang intens, serius, dan sedikit pendiam. Bakat-bakat seninya jauh lebih menonjol ketimbang minatnya berteologi. Ia penulis sajak dan esai yang andal, cerdas, dan mendalam. Juga seorang dramawan yang tangguh. Drama monolog yang ditulis, diperankan, dan disutradarainya sendiri, sampai kini masih berbekas di hati.
Kegemarannya akan kontroversi juga sangat terkenal. Saya tahu, bagaimana ia berperan sebagai "provokator", "tukang kipas", dan "pengatur strategi di belakang layar", dalam gerakan mahasiswa di asrama yang berusaha "menggulingkan" kepemimpinan saya. Ketika bertahun-tahun kemudian saya mengingatkannya tentang ini, dengan terbahak-bahak khas Tono ia menjawab, "Itu kan cuma buat bikin rame-rame saja. Ha, ha, ha!" Dua kali, saya ingat, ia dipercaya untuk menjadi ketua dua organisasi. Keduanya berakhir dengan heboh besar. Mengapa? Sebab yang ia lakukan bukanlah mengembangkan organisasi-organisasi itu, melainkan membubarkannya. Dua organisasi yang pernah mengalami "nasib buruk" itu adalah, "Persekutuan Mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi" dan "Kampus Diakonia Modern".
Yang juga tak dapat saya lupakan ialah, ketika saya dan istri--waktu itu masih pengantin baru--mengundang Tono dan Julius Syaranamual untuk tinggal bersama kami selama liburan. Baru di situ saya mendapati, bahwa walaupun mereka sudah hampir tamat dari STT, keduanya belum juga "mengaku percaya". Padahal ini adalah syarat mutlak untuk menjadi anggota penuh sebuah gereja. Lha bila jadi "anggota" saja tidak memenuhi syarat, bagaimana pula untuk menjadi "pendeta"?, pikir saya. Karena itu saya menawarkan kepada mereka untuk "mengaku percaya", tanpa perlu--seperti yang lain--mengikuti kursus pendalaman iman terlebih dulu. Tapi mengenal ke-nyentrik-an mereka, saya pun berpesan wanti-wanti, "Tolong ya, kalau ditanya pimpinan gereja nanti, jangan memberi jawaban yang "aneh-aneh". Munafik sedikit, tak apalah!" Ternyata mereka menurut juga. Dan saya pun lega.
* * *
Sejak aktif dalam gerakan-gerakan kemahasiswaan di tahun 70-an, sikap eksentriknya semakin hilang. Penampilan Tono semakin santun. Kegemarannya adalah mengenakan kemeja batik atau kemeja putih lengan panjang. Gaya bicaranya pun semakin penuh tenggang rasa. Sementara bakat seninya, entah bersembunyi di mana.
Tapi dalam gagasan dan wawasan, ia tetap Tono yang dulu. Intens, serius, keras kepala, kontroversial, terus mencari terobosan-terobosan baru, dan penuh kejutan. Studi formalnya membantunya memberi kedalaman dan koherensi kepada ide-ide spontan yang terus meletup-letup dari benaknya. Dan yang terpenting, seperti ungkapannya sendiri, ia tetap "garuda" yang tak gentar terbang sendiri. Bukan "bebek" yang mencari aman di tengah kerumunan.
Pertanyaannya adalah, akan kita biarkankah ia terus terbang sendirian? Saya menyadari benar, betapa kepergiannya yang amat tiba-tiba itu memperhadapkan kita kepada tantangan yang amat serius. Yaitu, terdorongkah kita untuk terbang bersama-sama dia?
Kepergian Tono, menurut saya, tidak cuma me-"legasi"-kan (= mewariskan) sebuah peta perjalanan serta begitu banyak aset pemikiran, tetapi juga men-"delegasi"-kan (= menyerahkan) segudang agenda yang mesti dikerjakan. Mulai dari cita-citanya mendirikan sebuah "Dialogue Center", sampai kepada yang jauh lebih praktis, misalnya perjalanan Inter Fidei selanjutnya.
Selamat jalan, Ton! Nikmatilah kebebasanmu sekarang! Biarlah yang lain, menjadi kecemasan kami! Mbak Cang, Dyah, Adi, dan Nugi, kuatkanlah hati kalian dan lanjutkanlah perjalanan kalian! Elga dan kawan-kawan, teruslah warisi "api"-nya dan lestarikan nyalanya! Agar "Jalan Kemajemukan" tak lagi sepengap sekarang.
* Penulis adalah Ketua Yayasan Dialog-Antar-Iman, sahabat dekat almarhum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar