Kamis, 12 September 2013

DauD


Daud                                                           
Oleh Eka Darmaputera

DAPATKAH Anda bayangkan betapa hebohnya, sekiranya "Tessy" atau "Bambang Gentolet", dari grup lawak SRIMULAT, juga ramai-ramai ikut mendaftarkan diri untuk mengikuti konvensi pemilihan "capres 2004"? "Astagafirulah," saya kira begitu orang akan syok dan berteriak. "Ya 'nggak pantas lah, ya?!"

Begitu pula dengan Daud, sekiranya saja di Israel pada waktu itu dibuka kesempatan untuk mendaftar menjadi "cara" atau "calon raja". Nasibnya, saya yakin, pasti tak akan lebih baik dari pada "Tessy" atau "Betet" atau "Bambang Gentolet". Gugur sejak awal.

Bisa saja mereka mampu memenuhi syarat-syarat formalnya. O, bisa! Tapi yang tak boleh dilupakan adalah, bahwa di samping syarat-syarat formal, ada syarat-syarat lain. Syarat-syarat yang walau tak resmi tertulis, namun dalam praktik jauh lebih menentukan. Yakni gambaran serta harapan populer orang, mengenai bagaimana seharusnya "sosok" atau "penampilan" seorang pemimpin itu.

Sering orang di"vonis" tidak memenuhi syarat, bukan karena mereka "tidak benar", atau "tidak baik", atau "tidak mampu". Tapi karena dianggap "ya nggak pantaslah, ya?!" itu tadi. Lha kemudian, bila Anda bertanya, apa ukurannya "pantas" atau "tidak pantas" itu? O, salah pertanyaan Anda itu! Jangan tanya begitu! Sebab soal "pantas" atau "tidak pantas" itu, sepenuhnya adalah urusan "rasa" -- bukan "rasio".

Mengingat semua inilah, kisah mengenai bagaimana Allah -- setelah menolak Saul - kemudian justru memilih Daud, menjadi amat menarik.

DIKISAHKANLAH bagaimana Samuel -- dengan menahan rasa khawatir yang tidak sedikit - berangkat ke Betlehem. Untuk apa? Jago tua ini diutus Allah untuk melaksanakan sebuah "missi politik" yang, terus terang, sangat riskan dan berbahaya.

Sebab, bayangkan saja! Tatkala raja yang lama, Saul, masih duduk dengan aman di takhtanya, eee, Samuel nekat-nekatnya mau melantik seorang raja pengganti! Apa lagi ini kalau bukan "makar" namanya?! Dan ancaman hukumannya? Mati.

Samuel menyadari ini. Karena itu, agar tidak menimbulkan kecurigaan, kepada pejabat-pejabat kota Betlehem, ia mengatakan bahwa maksud kedatangannya ke kota mereka, adalah untuk mempersembahkan ibadah korban. Dengan kata lain, suatu kegiatan yang tidak punya dampak politis apa-apa, hingga tak perlu diawasi.

Untuk ibadah korban ini, secara khusus Samuel mengundang keluarga Isai. Keluarga ini adalah keluarga biasa. Artinya, tidak berbahaya secara politis. Tapi mengapa Isai, dan bukan yang lain, ini adalah karena perintah Allah sendiri. Sabda-Nya kepada Samuel ". sebab di antara anak-anaknya telah Kupilih seorang raja bagi-Ku" (1 Samuel 16:1).

KEMUDIAN terjadilah hal yang saya katakan "amat menarik" itu. Manakala keluarga Isai muncul satu demi satu, maka yang pertama-tama masuk - tentu saja -- adalah si sulung, Eliab. Seorang pemuda yang elok parasnya, lagi pula tinggi, besar, serta tegap perawakan tubuhnya. Tak heran, bila Samuel - dan siapa saja - serta merta berpikir, "Orang muda inilah pasti yang dimaksud Allah!" Ternyata tidak!

Di mata manusia, penampilan memang alangkah menentukan! Saya ingat apa yang dikatakan oleh dramawan dan sineas Teguh Karya almarhum, ketika pada suatu ketika berkunjung ke rumah saya.

Ia mengatakan, betapa perlu dalam persyaratan untuk menjadi seorang pendeta itu - apa lagi bila tampil di televisi - ditambahkan pula persyaratan fisik.

Alasannya? Sebab, katanya, khalayak 'kan tidak hanya mendengarkan ia berbicara. Tapi juga "memelototi" parasnya, sosoknya, gerak tubuhnya. Lha kalau parasnya saja sudah "bikin perut mulas", ujar Teguh, bagaimana orang berminat menyimak apa yang ia katakan? Ini "zaman televisi", bung, bukan "zaman radio"! "Visio", bukan sekadar "audio"!

Bung Karno juga pernah mengatakan, betapa pentingnya penampilan seorang perawat itu! Sebab kalau perawat itu bertampang galak, bertubuh tambun, dan bersikap judes, maka si pasien hanya akan bertambah sakit dibuatnya!

BILA saya menceritakan kembali pandangan dua tokoh "idola" saya itu, itu sama sekali bukan karena saya mempercayainya. Saya mengungkapkannya, semata-mata karena mereka mewakili sikap manusia pada umumnya - termasuk kita.. Yaitu, kecenderungan orang untuk menilai, hanya berdasar apa yang dilihatnya.

Tapi Tuhan tidak. Alkitab berpesan wanti-wanti, agar kita tidak mudah terkecoh oleh penampilan seorang pemimpin! Masih ingatkah Anda akan peringatan Yesus, supaya berhati-hati terhadap para pemimpin, yang kelihatannya saja "domba" tapi sebenarnya "serigala"? Apa lagi Tuhan punya pengalaman buruk dengan Saul, si tampan! (1 Samuel 9:2).

Tuhan berbisik di hati Samuel, "Bukan Eliab, wahai Samuel, bukan dia pilihan-Ku!" Kata-Nya, "Janganlah pandang parasnya atau perawakannya yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Alah. Manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati" (1 Samuel 16:7)

Setelah Eliab "out", menyusul pula adik-adiknya, Abinadab dan Syama. Semuanya bernasib sama. Yaitu, Allah tak berkenan memilih mereka. Maka prosesi para "nominator" itu pun segera berhenti. Sebab? Sudah tak ada calon lain lagi-yang pantas!

"INIKAH anakmu semuanya?", tanya Samuel. Sang ayah, Isai, menjawab, "Masih tinggal yang bungsu, tapi sedang menggembalakan kambing domba".

Si bungsu sedang menggembalakan kambing domba. Sebab boro-boro ikut "konvensi", diundang mengikuti ibadah korban pun, si remaja "bau kencur" ini masih belum bisa lolos kualifikasi. Belum pantas! Sebab itu, ia ke padang. Menggembalakan kambing domba.

Pertanyaan kita adalah, mengapa Daud? Karena lebih pintarkah ia? Atau lebih salehkah ia dibandingkan abang-abangnya? Lebih pintar mengambil hati Allah, mungkin? Bisa saja! Sebab untuk bisa berhasil menjadi pemimpin seperti dia, pasti dibutuhkan banyak "nilai lebih". Amat banyak.

Ini pasti! Namun demikian, bila toh saya menokohkannya sebagai "figur sentral" kali ini, ini sama sekali bukan terutama karena faktor "manusia"nya.

Sebagai "tokoh" dan "pemimpin", okelah, ia menjulang tinggi ke awan-awan! Tapi, seperti kata sebuah ungkapan, "di atas langit, masih ada langit". Daud, seperti orang-orang lain, tetap bukan manusia sempurna.

Reputasi moralnya pernah cacat berat. Ingat skandal seksnya dengan Batsyeba? Dan perlakuannya yang keji atas Uria? Ia pun bukan figur seorang ayah teladan. Ingat peristiwa Amnon, Tamar, Absalom, Adonai?

Dan akhirnya, rapor prestasi pemerintahannya pun, menurut saya, tidak membanggakan. Penuh intrik. Penuh dendam. Berdarah-darah. Sedemikian buruk, sehingga Allah tidak berkenan mengeluarkan "IMB", ketika Daud mengajukan "proposal" untuk membangun Bait Allah di Yerusalem.

JADI, di mana pentingnya mengangkat kisah ini, dalam rangkaian pembahasan kita mengenai "Kepemimpinan dalam Perspektif Alkitab"? Jawabnya: karena dalam kisah ini Allah secara eksplisit mengemukakan, pemimpin seperti apa yang Ia kehendaki dan yang tidak Ia kehendaki. Ini penting sekali untuk kita ketahui, bukan?

"Janganlah pandang parasnya atau perawakannya yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati" (1 Samuel 16:7)

Pertama-tama dan yang paling utama ialah, seorang pemimpin yang murni dan tulus hatinya. A man of the heart. Punya integritas moral yang tinggi. A man with integrity.

Daud dipilih Allah bukan pertama-tama karena ia "berperawakan pemimpin". Sebab kalau ini syarat utamanya, maka Eliab atau Abinadab atau Syama-lah yang akan terpilih. Tapi bila manusia melihat prestasi, Allah melihat isi. Bila manusia menilai sesuatu berdasar penampilan luar, Allah mementingkan motivasi hati.

Jadi tak pentingkah prestasi? Ijazah? Kemampuan? Wibawa? Penampilan? Tentu saja penting. Saya ingat kritik orang terhadap pemimpin-pemimpin seperti Jimmy Carter atau Gus Dur. Mengakui bahwa mereka adalah orang-orang baik. Tapi, sayang sekali, bukan presiden yang baik. Bukan pemimpin yang efektif.

Kendati demikian, betapa mengerikannya mempunyai pemimpin yang jenius dan berkemampuan tinggi, tapi tidak punya hati. Tuna nurani! Pemimpin macam begini adalah bagaikan "monster" yang mungkin gagah perkasa, tapi tak mengenal iba. Ia adalah seperti mesin giling yang akan menggilas apa saja. Tanpa rasa.

Yang ideal tentu saja adalah pemimpin yang paripurna. Punya segala-galanya. Baik kemampuan yang tinggi, maupun hati yang suci. Tapi bila terpaksa harus memilih antara keduanya, pilihlah pemimpin yang punya hati!

Tepat sekali ungkapan yang mengatakan, bahwa "masalah yang paling inti, adalah masalah hati". "The heart of the problem, is the problem of the heart". Kita punya cukup banyak pemimpin dengan kemampuan tinggi. Tapi yang berhati murni?.*** 120804

Tidak ada komentar:

Posting Komentar