Sabtu, 14 September 2013

Bukan Sebabnya, Tapi Responsnya

Bukan Sebabnya, Tapi Responsnya
Oleh Eka Darmaputera


Terbujur di pembaringan, mengaduh di puncak kesakitan, biasanya membuat orang berfikir, "Ah, sekiranya saja Tuhan mau datang, dan bersedia menjelaskan apa sebab musabab semua penderitaan ini! Oh, waktu itu, betapa leganya hatiku, dan puasnya batinku - pasti! Aku akan mampu menerima "nasib"ku. Sebab paling sedikit kini aku mengerti, mengapa semua yang terjadi ini, terjadi".

Ayub - seperti kita -- juga pernah berfikir begitu. "Ah, kalau saja Tuhan mau datang -- sekali saja -- memberi penjelasan!" Dan dalam kasus Ayub, ternyata Tuhan benar-benar datang. "Dalam badai," begitu kata Ayub 40:1. Tapi legakah Ayub karenanya? Terpenuhikah harapan-harapannya? Jawabnya adalah: Tidak!

Pertama, kemungkinan besar Ayub - seperti kita - tentu membayangkan, bahwa Allah akan datang dengan kalimat-kalimat yang menghibur meneguhkan, dengan sikap hangat dan lembut kebapaan, dan dengan senyum yang menyalakan kembali harapan yang nyaris padam.

Memang sepantasnya begitu! Sebab bukankah Ayub adalah kekasih dan putra kebanggaan Allah! Dengarlah apa yang Ia katakan kepada Iblis, "Apakah engkau memperhatikan hamba-Ku Ayub? Sebab tiada seorang pun di bumi seperti dia, yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan" (Ayuib 1:8). Dan hamba kekasih serta kebanggaan Allah itu, kini sedang tertekan, kesakitan, dan menderita teramat sangat!

* * *

NAMUN itukah yang Allah lakukan? Datang dengan lembut, ramah dan sikap menghibur? Jawabnya adalah: Tidak! Sebaliknyalah, Ia datang dengan wajah merah padam. Mungkin mendobrak pintu, mungkin menggebrak meja, dan dengan suara mengguntur berkata, "Siapakah dia yang menggelapkan keputusan dengan perkataan-perkataan yang tidak berpengetahuan? Bersiaplah engkau sebagai laki-laki! Aku akan menanyai engkau, supaya engkau memberitahu Aku" (38:2-3). Astaga!

Saya bayangkan, Ayub pasti terpana. Shock berat. Mulutnya terbuka, matanya terbelalak, tak bisa percaya. Hal yang tak pernah ia harapkan bisa terjadi adalah, bahwa Allah datang membombardirnya dengan daftar pertanyaan yang panjang. Bukan membawa jawaban!

Tuhan seakan-akan tak peduli sedikit pun akan 35 pasal yang sarat dengan perdebatan dan kontroversi yang panas, yang sampai pada akhirnya tetap menyisakan pertanyaan-pertanyaan penting yang tak terjawab. Pendeta yang paling buruk pun, saya kira, tak akan tega melakukan seperti apa yang Allah lakukan, terhadap warga jemaatnya yang tengah limbung kehilangan pegangan di limbah kesakitan. Toh Allah melakukannya. Ini tentu sangat mengherankan!

Hal kedua yang kita baca adalah, bahwa Ia bukan hanya tidak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan Ayub - yang nota bene adalah pertanyaan-pertanyaann yang sah --, eee Ia malah berpidato panjang lebar mengenai hal-hal yang sama sekali tidak punya relevansi apa-apa.

Kepada orang yang sedang menderita kesakitan, Allah malah memberi kuliah atau ceramah tentang alam semesta. Tentang matahari trerbit, tentang hujan dan salju, tentang badai, tentang singa, tentang kambing hutan, tentang keledai liar, tentang burung onta, tentang kuda, tentang burung-burung. (Ayub 38 dan 39).

Setiap selesai menjelaskan satu pokok, Ia juga menyodok dengan pertanyaan yang membuat Ayub terhempas ke sudut, " Ayub, mampukah engkau sedikit saja meniru apa yang Aku lakukan? Apakah engkau cukup arif untuk memerintah dunia? Mempunyai lengan seperti lengan-Ku? Dan suara mengguntur seperti suara-Ku? Ayo jawab, Ayub, jawab!"

Kadang-kadang tidak puas dengan itu, jawaban Allah masih disertai pula dengan sarkasme yang menusuk hati, misalnya, "Tentu engkau mengenalnya, karena ketika itu engkau telah lahir, dan jumlah hari-harimu telah banyak" (38:21) Saya bayangkan nada yang mengejek dan mulut yang tersenyum sinis.

* * *

PERTANYAAN kita tentu adalah, mengapa Allah menjawab begitu, dan di saat-saat seperti itu? Mengapa Tuhan seolah-olah tidak mempedulikan luka batin Ayub? Terjang terus, sekali pun lawan telah jatuh?

Kelihatan dengan amat jelas, betapa Allah menolak memberi jawaban yang logis yang rinci, butir demi butir, mengenai sebab musabab kesakitan dan penderitaan. Ia juga menampik dengan tegas "tuntutan" Ayub untuk memberikan "pertanggung-jawaban". Ketika banyak orang Kristen mengangkat diri menjadi "pahlawan iman" dan "pembela" Allah dalam masalah kesakitan dan penderitaan ini, eee, Allah sendiri tidak merasa perlu membuat pembelaan diri atau "apologia". Allah tidak memerlukan pembelaan!

Apa sih yang sebenarnya Allah inginkan dari Ayub? Alkitab ingin memperlihatkan betapa Allah amat serius dengan apa yang Ia nyatakan. Bahwa isu kesakitan dan penderitaan bukanlah isu enteng, yang cukup dijawab dengan luapan -luapan spontan semata. Allah menuntut sikap yang benar dan tepat - bukan teori!

Apa yang Ia mau katakan? Ini: BAHWA SELAMA MANUSIA NYARIS TIDAK TAHU APA-APA TENTANG BEKERJANYA ALAM SEMESTA - TERMASUK HAL-HAL YANG KELIHATANNYA REMEH DAN BIASA (MATAHARI TERBIT DAN TENGGELAM, ANGIN TOPAN DAN HUJAN, SINGA DAN KAMBING HUTAN) - JANGANLAH IA BERLAGAK BISA MENJADI PENENTU APA YANG BENAR DAN APA YANG SALAH (= MORALITAS) DI ALAM INI. Terlebih-lebih, bila Tuhan pun mau ia adili!

Lalu apa yang Ia inginkan? Cuma satu ini: KEPASRAHAN DIRI YANG PENUH, UTUH DAN MENYELURUH KEPADA APA PUN - SEKALI LAGI, KEPADA APA PUN - YANG DIPERBUAT ALLAH. Janganlah pernah terpikir di benak Anda, untuk duduk di kursi hakim, lalu mengadili Allah, karena apa yang Ia lakukan sehubungan dengan kesakitan dan penderitaan manusia.

Selama Anda tak mampu mengatur datangnya musim kemarau dan musim penghujan, menciptakan mahluk-mahluk kecil seperti kecambah atau kecebong, Anda tidak berhak, dan tidak memenuhi syarat untuk mengadili Allah, sang Maha Pencipta.

Bersiaplah engkau sebagai laki-laki! Barangsiapa berniat untuk menghakimi Allah, biarlah ia terlebih dahulu meyadari kekecilannya dan kebesaran-Nya! Dan sebaiknya Anda percaya saja sepenuh hati Anda, bahwa Ia yang berkuasa mencipta kita dari tiada menjadi ada, masakan Ia tak berkuasa untuk memelihara dan menjaga kita?

* * *

DALAM kaitan ini, sungguh menarik mengikuti komentar Philip Yancey terhadap buku Harold Kushner, "When Bad Things Happen to Good People", yang amat termashur itu. Yancey mengritik Kushner, karena yang disebut belakangan - sekalipun percaya akan kebaikan Allah - toh mempertanyakan kemampuan serta kemahakuasaan-Nya.

Menurut Kushner, Allah itu baik. Ia tidak suka melihat anak-anak-Nya menderita. Ia pun berupaya mencegah dan menolong mereka. Tapi, apa boleh buat, Ia tak cukup mampu untuk itu. Mengapa? Karena Ia adalah Allah keadilan, bukan Allah kekuatan. Oleh karena itu, kita berharap terlalu banyak. Bukan sapunya yang salah, bukan, kalau sapu tersebut tidak dapat kita pakai untuk, misalnya, bermain musik?

Yancey mempertanyakan dalil Kushner ini. Atas dasar apakah ia dapat mengatakan, bahwa Allah seolah-olah berkata kepada Ayub, "Yub, maaf banget deh! Aku sebenarnya ingin menolong, tapi mau bagaimana lagi, Aku tak mampu"?

Sebaliknyalah, begitu Yancey, yang kita baca dalam kitab Ayub adalah, betapa Allah datang kepada Ayub untuk menyatakan kemaha-kuasaan-Nya! Ia tak pernah satu kalipun sekalipun minta maaf kepada Ayub atas ketidak-mampuan-Nya. Elie Wiesel pun berpendapat sama. Bila benar Allah adalah seperti yang ditulis oleh Rabi Kushner, katanya, Ia pantas untuk mundur, dan memberi kesempatan kepada yang lebih mampu untuk menggantikan-Nya.

* * *

SETELAH ini jelas, sekarang kita dapat kembali kepada pertanyaan utama kita: bagaimana seharusnya kita menyikapi kesakitan dan penderitaan kita? Bagaimana seharusnya kita memandangnya, memahaminya, menafsirkannya, dan kemudian menyikapinya?

Menjawab ini, kita hanya harus kembali kepada jalan pemikiran Yesus dalam Lukas 13 dan Yohanes 9. Di sini Yesus juga tidak ingin kita menghabiskan enersi serta mengarahkan konsentrasi kita kepada persoalan yang bersifat spekulatif, yang tidak mempunyai makna bagi kehidupan sehari-hari. Yaitu pertanyaan "mengapa?".

Kepada Ayub, secara implisit Allah ingin mengatakan, bahwa kalaupun Ia menjawabnya, Ayub toh tak akan mengerti juga. Seperti menjelaskan persoalan matematika tinggi kepada jebolan kelas 2 SD. Percuma!

Yang relevan bukanlah "mengapa"nya, melainkan "bagaimana merespon"nya. Apakah kita biarkan penderitaan itu mematahkan semangat kita dan memadamkan seluruh vitalitas hidup kita? Atau, walau amat terbatas dan lemah, kita masih dapat menjadikan hidup kita tetap bermakna? Saya selalu terharu melihat seorang bocah kecil yang walau tak dapat lagi menggunakan tangannya untuk melukis, ia tidak menyerah. Ia memakai mulutnya. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar