Dua
Kesalahan
Oleh Eka Darmaputera
Setelah beberapa kali mengikuti rangkaian tulisan saya mengenai "kesakitan", mungkin orang akan berkomentar, "Enak saja si Eka itu ngomong. Dia tidak mengalami sendiri sih, bagaimana realitas kesakitan itu. Pahitnya. Capeknya. Frustrasi-frustrasinya."
Bila komentar itu datang dari saudara saya, yang saat ini sedang menyeringai menahan siksa rasa sakit, perkenankanlah saya melalui tulisan ini menyampaikan simpati saya yang sedalam-dalamnya. Demi Tuhan, tak secuil pun ada maksud di benak saya, meremehkan penderitaan Anda! Namun, dalam batas-batas tertentu, saya tahu apa artinya kesakitan.
Selama hampir duapuluh tahun terakhir ini, saya mengidap bukan cuma satu, melainkan beberapa, penyakit, yang secara medis tak tersembuhkan. Penyakit-penyakit yang nyaris telah memakan habis seluruh daging saya, dan menyedot semua kekuatan fisik saya. Penyakit-penyakit, yang semua orang tahu apa prognosisnya. Dari keadaan seperti itulah, saya menulis. Bukan dari awang-awang.
Toh sikap saya itu tidak unik. Saya malah memperoleh kekuatan dari banyak orang, yang dalam penderitaan justru menemukan makna kehidupan. Salah satunya adalah sastrawan pemenang Hadiah Nobel, Alexander Solzhenitsyn. Dalam The Gulag Archipelago, ia menulis antara lain,
"Baru ketika aku berbaring di situ, di atas kasur jerami busuk milik penjara, untuk pertama kalinya aku merasakan di dalam diriku getaran-getaran kebaikan. Pelahan-pelahan, tersingkaplah kenyataan betapa garis pemisah antara kebaikan dan kejahatan itu, tidak terentang sebagai pembatas antar negara, atau antar kelas sosial, atau antar partai politik. Melainkan melintas di hati setiap orang; semua orang. Di situlah kusegarkan kembali jiwaku . seraya berkata tanpa ragu, Terberkatilah dikau, wahai penjara, karena telah berkenan hadir dalam hidupku!"
* * *
TUJUAN hidup manusia bukanlah untuk bernikmat-nikmat. Bahkan sebelum dosa hadir pun, dunia tidak dirancang sebagai "Disney World" atau "Dunia Fantasi". Tetapi dunia di mana Allah menitipkan tanggungjawab yang luar biasa besar kepada manusia: menjaga serta memelihara ketertiban semesta (Kejadian 1:28)
Tuhan tidak merancang dunia yang membuat manusia rapuh dan lembek. Walau mungkin dunia seperti itulah yang kita idam-idamkan. Dalam hubungan ini, saya teringat akan nasib menyedihkan yang menimpa orang-orang Indian yang tinggal jauh di pelosok rimba Amazon. Ketika dalam waktu singkat, mereka mati hampir serentak dalam jumlah ribuan. Sebabnya ternyata "sepele" saja. Yaitu, virus influenza.
Lho kok? Ya, karena mereka tak pernah mengenal virus ini. Karenanya tubuh mereka tidak mempunyai kekebalan terhadapnya. Ini tidak menjadi soal, sampai kemudian datanglah para penebang hutan dari luar. Bersama traktor-traktor mereka, mereka juga membawa virus asing itu.
Padahal orang yang telah teruji seperti Ayub? Rabi Abraham Heschel, sebagaimana dikutip Philip Yancey, mengatakan, "Iman seperti Ayub tak mungkin tergoncang, karena iman itu sendiri lahir dari goncangan".
Benarlah yang mengatakan, bahwa hidup kita bukanlah produk yang "sekali jadi", melainkan suatu "proses menjadi". Bergerak. Berkembang. Bertumbuh. Berubah. Dalam setiap proses pertumbuhan ini, satu unsur tak terhindarkan: kesakitan. Bertumbuh itu menyakitkan. Membingungkan. Menimbulkan ketidakpastian.
* * *
ALKITAB dengan konsisten menegaskan, bahwa kesakitan bukanlah yang terburuk. Para nabi Allah bahkan memperagakan ini di dalam kehidupan nyata mereka. Bacalah kisah nabi-nabi Elia, Yeremia, Hosea, Ayub! Sebuah komposisi besar selalu mengandung nada-nada minor. Sebuah lukisan agung selalu punya sisi kelabu. Sebuah novel maha karya disebut begitu karena unsur-unsur tragis dan ironis di dalamnya.
Berlatarbelakangkan semua ini, Philip Yancey berbicara mengenai DUA KESALAHAN. Dua kesalahan yang bisa mencelakakan. Kesalahan pertama adalah ketika kita melemparkan semua tanggungjawab kepada Allah, seraya melihat setiap kesakitan sebagai kehendak Tuhan. Sedang kesalahan kedua adalah sebaliknya. Ia berasumsi bahwa hidup bersama Allah akan membebaskan manusia dari kesakitan.
Mengenai yang pertama, rasanya tak perlu lagi penjelasan panjang lebar. Kitab Ayub adalah peringatan, BAHWA TAK SEORANG PUN BERHAK BERDIRI DI DEPAN SESAMANYA YANG MENDERITA, SAMBIL BERKATA, "INI ADALAH KEHENDAK ALLAH".
Di dalam sejarah gereja, melemparkan seluruh tanggungjawab kepada Allah telah membawa akibat macam-macam. Di akhir Abad Pertengahan, banyak wanita dibakar hidup-hidup karena mengonsumsi obat penangkal sakit sewaktu melahirkan. Mereka dianggap murtad, sebab Alkitab mengatakan, "Dengan kesakitan engkau akan melahirkan anak-anakmu" (Kejadian 3:16). Mereka melawan kehendak Tuhan.
Begitu Edward Jenner selesai dengan vaksin cacar air-nya, ia mengalami kesulitan dengan para petinggi gereja, yang beranggapan bahwa vaksin itu adalah bentuk intervensi terhadap kehendak Allah. Sampai sekarang pun, beberapa sekte tetap menolak pengobatan moderen. Prinsip mereka adalah, Allah menghendaki mereka menderita, karena dosa-dosa mereka. Sebab itu, biarlah mereka menderita.
Sekarang saya hendak menegaskan: penyakit bukan "takdir". Fatalisme bukanlah sikap iman kristiani yang benar. Allah tidak pernah menyukai kesakitan, seperti kita pun tidak menyukainya! Kalau pun Ia meletakkan realitas kesakitan di depan kita, itu adalah karena Ia ingin kita melawannya dan mengatasinya.
Barangsiapa masih meragukan ini, saya persilakan membaca kembali dengan teliti perumpamaan "Orang Samaria yang Murah Hati" (Lukas 10) atau perumpamaan "Kambing dan Domba" (Matius 25). Di situ amat jelas apa yang dikehendaki Allah.
* * *
SEKARANG menyangkut salah kaprah kedua. Akhir-akhir ini, dari mimbar-mimbar gereja maupun dari layar kaca, dengan gencar diperkenalkan suatu kepercayaan, seolah-olah kesembuhan pasti akan terjadi pada setiap orang, asal saja mereka mau meng"klaim" itu dari Allah.
Sedikit pun saya tidak bermaksud meragukan adanya mujizat penyembuhan. Saya mempercayainya dan mengharapkannya! Namun demikian, saya menolak dengan tegas keyakinan bahwa ini berlaku setiap waktu bagi setiap orang percaya. No way!
Dalam banyak hal, "percaya" dan "tidak percaya", tak banyak berbeda. Misalnya, angka mortalitas keduanya sama persis: 100 persen. Orang kristen mati, yang tidak kristen pun mati. Mata orang Kristen -seperti yang lain - pada satu saat perlu kaca mata. Tulang-tulang mereka sama-sama punya potensi untuk keropos. Daging di tubuh mereka sama-sama akan hancur bila digilas truk atau kereta api.
Yang sering tidak kita sadari adalah, apakah dampak dari penekanan yang berlebih-lebihan kepada mujizat penyembuhan, terhadap mereka - yang jumlahnya pasti jauh lebih besar - yang rindu tapi tidak mengalaminya? Apa yang berkecamuk di dalam hati seorang yang lumpuh dari kursi rodanya, ketika melihat rekan senasibnya melompat-lompat kegirangan, sambil berteriak "Aku sembuh!" Tidakkah ia akan sangat kesepian, merasa ditinggalkan? Dan dengan frustrasi mencari, apa yang salah dengan imanku?
"Teologi Kesehatan dan Kemakmuran" ini sangat berbeda dari apa yang ditulis oleh Paulus kepada Timotius. Ketika ia berkata, "Setiap orang yang mau hidup beribadah dalam Kristus Yesus akan menderita aniaya" (2 Timotius 3:12). Berdasarkan ini, baiklah saya tegaskan: "SAKIT TIDAK BERARTI TIDAK ROHANI"! Dibaptis dengan air bukan berarti disemprot dengan cairan anti kuman dan anti sakit!
Bagi Anda masih ragu, saya persilakan Anda membaca Ibrani pasal 11. Di sini, penulis mendaftar pengalaman tokoh-tokoh iman sepanjang zaman. Sebagian besar dari tokoh-tokoh ini mengalami penyertaan Tuhan yang ajaib. Yusuf, Musa, Rahab.
Tapi jangan lupa membaca ayat-ayat berikutnya, yang menyatakan, "Ada pula yang diejek dan didera, bahkan yang dibelenggu dan dipenjarakan. Mereka dilempari, digergaji, dibunuh dengan pedang. Mereka mengembara dengan berpakaian kulit domba dan kulit kambing sambil menderita kekurangan, kesesakan dan siksaan" (Ibrani 11:36-37). Bukan naik limousine dan hidup makmur! Namun begitu mereka toh tidak kurang berimannya dibandingkan dengan yang lain.
David Watson adalah seorang pendeta dan penulis dari Iggris. Ketika ia diberitahu bahwa ia menderita kanker usus, ia mengumpulkan teman-temannya dan membentuk kelompok doa. Mereka berdoa dengan keyakinan penuh, bahwa Watson akan mengalami mujizat penyembuhan. Watson pun kemudian menjadi tokoh terkemuka gerakan kharismatik di Inggris.
Tapi ternyata ia tidak sembuh juga. Satu bulan terakhir dari hidupnya, ia pakai untuk menulis sebuah buku, yang diberinya judul Fear No Evil. "Tidak Gentar Menghadapi yang Jahat" Di situ ia bersaksi, bahwa yang ia butuhkan adalah iman yang menopang, seperti iman Ayub. Iman yang mengajarkan kepadanya "seni menghadapi maut". Di mana mati secara baik, adalah prestasi terbaik -- bukan kegagalan -- yang dapat dicapai oleh orang beriman. Dan pula iman yang tidak silau dalam kemakmuran! ***
Oleh Eka Darmaputera
Setelah beberapa kali mengikuti rangkaian tulisan saya mengenai "kesakitan", mungkin orang akan berkomentar, "Enak saja si Eka itu ngomong. Dia tidak mengalami sendiri sih, bagaimana realitas kesakitan itu. Pahitnya. Capeknya. Frustrasi-frustrasinya."
Bila komentar itu datang dari saudara saya, yang saat ini sedang menyeringai menahan siksa rasa sakit, perkenankanlah saya melalui tulisan ini menyampaikan simpati saya yang sedalam-dalamnya. Demi Tuhan, tak secuil pun ada maksud di benak saya, meremehkan penderitaan Anda! Namun, dalam batas-batas tertentu, saya tahu apa artinya kesakitan.
Selama hampir duapuluh tahun terakhir ini, saya mengidap bukan cuma satu, melainkan beberapa, penyakit, yang secara medis tak tersembuhkan. Penyakit-penyakit yang nyaris telah memakan habis seluruh daging saya, dan menyedot semua kekuatan fisik saya. Penyakit-penyakit, yang semua orang tahu apa prognosisnya. Dari keadaan seperti itulah, saya menulis. Bukan dari awang-awang.
Toh sikap saya itu tidak unik. Saya malah memperoleh kekuatan dari banyak orang, yang dalam penderitaan justru menemukan makna kehidupan. Salah satunya adalah sastrawan pemenang Hadiah Nobel, Alexander Solzhenitsyn. Dalam The Gulag Archipelago, ia menulis antara lain,
"Baru ketika aku berbaring di situ, di atas kasur jerami busuk milik penjara, untuk pertama kalinya aku merasakan di dalam diriku getaran-getaran kebaikan. Pelahan-pelahan, tersingkaplah kenyataan betapa garis pemisah antara kebaikan dan kejahatan itu, tidak terentang sebagai pembatas antar negara, atau antar kelas sosial, atau antar partai politik. Melainkan melintas di hati setiap orang; semua orang. Di situlah kusegarkan kembali jiwaku . seraya berkata tanpa ragu, Terberkatilah dikau, wahai penjara, karena telah berkenan hadir dalam hidupku!"
* * *
TUJUAN hidup manusia bukanlah untuk bernikmat-nikmat. Bahkan sebelum dosa hadir pun, dunia tidak dirancang sebagai "Disney World" atau "Dunia Fantasi". Tetapi dunia di mana Allah menitipkan tanggungjawab yang luar biasa besar kepada manusia: menjaga serta memelihara ketertiban semesta (Kejadian 1:28)
Tuhan tidak merancang dunia yang membuat manusia rapuh dan lembek. Walau mungkin dunia seperti itulah yang kita idam-idamkan. Dalam hubungan ini, saya teringat akan nasib menyedihkan yang menimpa orang-orang Indian yang tinggal jauh di pelosok rimba Amazon. Ketika dalam waktu singkat, mereka mati hampir serentak dalam jumlah ribuan. Sebabnya ternyata "sepele" saja. Yaitu, virus influenza.
Lho kok? Ya, karena mereka tak pernah mengenal virus ini. Karenanya tubuh mereka tidak mempunyai kekebalan terhadapnya. Ini tidak menjadi soal, sampai kemudian datanglah para penebang hutan dari luar. Bersama traktor-traktor mereka, mereka juga membawa virus asing itu.
Padahal orang yang telah teruji seperti Ayub? Rabi Abraham Heschel, sebagaimana dikutip Philip Yancey, mengatakan, "Iman seperti Ayub tak mungkin tergoncang, karena iman itu sendiri lahir dari goncangan".
Benarlah yang mengatakan, bahwa hidup kita bukanlah produk yang "sekali jadi", melainkan suatu "proses menjadi". Bergerak. Berkembang. Bertumbuh. Berubah. Dalam setiap proses pertumbuhan ini, satu unsur tak terhindarkan: kesakitan. Bertumbuh itu menyakitkan. Membingungkan. Menimbulkan ketidakpastian.
* * *
ALKITAB dengan konsisten menegaskan, bahwa kesakitan bukanlah yang terburuk. Para nabi Allah bahkan memperagakan ini di dalam kehidupan nyata mereka. Bacalah kisah nabi-nabi Elia, Yeremia, Hosea, Ayub! Sebuah komposisi besar selalu mengandung nada-nada minor. Sebuah lukisan agung selalu punya sisi kelabu. Sebuah novel maha karya disebut begitu karena unsur-unsur tragis dan ironis di dalamnya.
Berlatarbelakangkan semua ini, Philip Yancey berbicara mengenai DUA KESALAHAN. Dua kesalahan yang bisa mencelakakan. Kesalahan pertama adalah ketika kita melemparkan semua tanggungjawab kepada Allah, seraya melihat setiap kesakitan sebagai kehendak Tuhan. Sedang kesalahan kedua adalah sebaliknya. Ia berasumsi bahwa hidup bersama Allah akan membebaskan manusia dari kesakitan.
Mengenai yang pertama, rasanya tak perlu lagi penjelasan panjang lebar. Kitab Ayub adalah peringatan, BAHWA TAK SEORANG PUN BERHAK BERDIRI DI DEPAN SESAMANYA YANG MENDERITA, SAMBIL BERKATA, "INI ADALAH KEHENDAK ALLAH".
Di dalam sejarah gereja, melemparkan seluruh tanggungjawab kepada Allah telah membawa akibat macam-macam. Di akhir Abad Pertengahan, banyak wanita dibakar hidup-hidup karena mengonsumsi obat penangkal sakit sewaktu melahirkan. Mereka dianggap murtad, sebab Alkitab mengatakan, "Dengan kesakitan engkau akan melahirkan anak-anakmu" (Kejadian 3:16). Mereka melawan kehendak Tuhan.
Begitu Edward Jenner selesai dengan vaksin cacar air-nya, ia mengalami kesulitan dengan para petinggi gereja, yang beranggapan bahwa vaksin itu adalah bentuk intervensi terhadap kehendak Allah. Sampai sekarang pun, beberapa sekte tetap menolak pengobatan moderen. Prinsip mereka adalah, Allah menghendaki mereka menderita, karena dosa-dosa mereka. Sebab itu, biarlah mereka menderita.
Sekarang saya hendak menegaskan: penyakit bukan "takdir". Fatalisme bukanlah sikap iman kristiani yang benar. Allah tidak pernah menyukai kesakitan, seperti kita pun tidak menyukainya! Kalau pun Ia meletakkan realitas kesakitan di depan kita, itu adalah karena Ia ingin kita melawannya dan mengatasinya.
Barangsiapa masih meragukan ini, saya persilakan membaca kembali dengan teliti perumpamaan "Orang Samaria yang Murah Hati" (Lukas 10) atau perumpamaan "Kambing dan Domba" (Matius 25). Di situ amat jelas apa yang dikehendaki Allah.
* * *
SEKARANG menyangkut salah kaprah kedua. Akhir-akhir ini, dari mimbar-mimbar gereja maupun dari layar kaca, dengan gencar diperkenalkan suatu kepercayaan, seolah-olah kesembuhan pasti akan terjadi pada setiap orang, asal saja mereka mau meng"klaim" itu dari Allah.
Sedikit pun saya tidak bermaksud meragukan adanya mujizat penyembuhan. Saya mempercayainya dan mengharapkannya! Namun demikian, saya menolak dengan tegas keyakinan bahwa ini berlaku setiap waktu bagi setiap orang percaya. No way!
Dalam banyak hal, "percaya" dan "tidak percaya", tak banyak berbeda. Misalnya, angka mortalitas keduanya sama persis: 100 persen. Orang kristen mati, yang tidak kristen pun mati. Mata orang Kristen -seperti yang lain - pada satu saat perlu kaca mata. Tulang-tulang mereka sama-sama punya potensi untuk keropos. Daging di tubuh mereka sama-sama akan hancur bila digilas truk atau kereta api.
Yang sering tidak kita sadari adalah, apakah dampak dari penekanan yang berlebih-lebihan kepada mujizat penyembuhan, terhadap mereka - yang jumlahnya pasti jauh lebih besar - yang rindu tapi tidak mengalaminya? Apa yang berkecamuk di dalam hati seorang yang lumpuh dari kursi rodanya, ketika melihat rekan senasibnya melompat-lompat kegirangan, sambil berteriak "Aku sembuh!" Tidakkah ia akan sangat kesepian, merasa ditinggalkan? Dan dengan frustrasi mencari, apa yang salah dengan imanku?
"Teologi Kesehatan dan Kemakmuran" ini sangat berbeda dari apa yang ditulis oleh Paulus kepada Timotius. Ketika ia berkata, "Setiap orang yang mau hidup beribadah dalam Kristus Yesus akan menderita aniaya" (2 Timotius 3:12). Berdasarkan ini, baiklah saya tegaskan: "SAKIT TIDAK BERARTI TIDAK ROHANI"! Dibaptis dengan air bukan berarti disemprot dengan cairan anti kuman dan anti sakit!
Bagi Anda masih ragu, saya persilakan Anda membaca Ibrani pasal 11. Di sini, penulis mendaftar pengalaman tokoh-tokoh iman sepanjang zaman. Sebagian besar dari tokoh-tokoh ini mengalami penyertaan Tuhan yang ajaib. Yusuf, Musa, Rahab.
Tapi jangan lupa membaca ayat-ayat berikutnya, yang menyatakan, "Ada pula yang diejek dan didera, bahkan yang dibelenggu dan dipenjarakan. Mereka dilempari, digergaji, dibunuh dengan pedang. Mereka mengembara dengan berpakaian kulit domba dan kulit kambing sambil menderita kekurangan, kesesakan dan siksaan" (Ibrani 11:36-37). Bukan naik limousine dan hidup makmur! Namun begitu mereka toh tidak kurang berimannya dibandingkan dengan yang lain.
David Watson adalah seorang pendeta dan penulis dari Iggris. Ketika ia diberitahu bahwa ia menderita kanker usus, ia mengumpulkan teman-temannya dan membentuk kelompok doa. Mereka berdoa dengan keyakinan penuh, bahwa Watson akan mengalami mujizat penyembuhan. Watson pun kemudian menjadi tokoh terkemuka gerakan kharismatik di Inggris.
Tapi ternyata ia tidak sembuh juga. Satu bulan terakhir dari hidupnya, ia pakai untuk menulis sebuah buku, yang diberinya judul Fear No Evil. "Tidak Gentar Menghadapi yang Jahat" Di situ ia bersaksi, bahwa yang ia butuhkan adalah iman yang menopang, seperti iman Ayub. Iman yang mengajarkan kepadanya "seni menghadapi maut". Di mana mati secara baik, adalah prestasi terbaik -- bukan kegagalan -- yang dapat dicapai oleh orang beriman. Dan pula iman yang tidak silau dalam kemakmuran! ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar