Dunia
Tanpa Kesakitan?
Oleh Eka Darmaputera
Ada waktu-waktu tertentu, ketika hidup kita berlangsung mulus. Sepertinya bumi tempat kaki kita berpijak, subur dan hijau semata. Matahari bersinar cerah dan angin sejuk bertiup lembut. Pada saat-saat seperti ini, tidak terlalu sulit untuk mempercayai kebaikan dan kasih Allah.
Namun siapa pun tahu bahwa matahari yang sama itu pula yang telah memanggang Afrika menjadi hamparan gurun dan membuat jutaan orang kelaparan. Bahwa angin yang itu-itu juga, yang tiba-tiba bisa berubah jadi puting beliung, siap menelan apa saja dan siapa saja ke perutnya. Tatkala ini semua berlangsung, masih mampukah kita dengan jujur memuji kebaikan dan kasih Allah?
Tapi apakah kita mampu atau tidak mampu, alam memang tak pernah berwajah satu. Ada kalanya ia laksana ibu yang membelai kepala kita dengan penuh kasih sayang. Kali lain, ia berubah menjadi saudara kita yang liar dan beringas. Bumi kita, walau benar ciptaan Allah, adalah ibarat "Dasamuka"-berwajah sepuluh-sebagian besarnya mengerikan.
Sebut saja makhluk yang bernama "manusia". Spesies ini telah menampilkan orang-orang berhati mulia seperti Gandhi dan Teresa, orang-orang berotak cemerlang seperti Newton dan Einstein, dan orang-orang berdaya cipta luar biasa, seperti Ismail Marzuki dan Affandi. Namun, dari rahimnya pula lahir monster-monster kemanusiaan seperti Hitler dan Idi Amin; serta teroris-teroris berdarah dingin seperti Ali Imron dan Amrozy.
Yang ingin saya katakan adalah semua realitas yang ada di sekitar kita maupun di dalam diri kita senantiasa berwajah ganda, termasuk di dalamnya adalah "RASA SAKIT".
Di satu pihak, "kesakitan" adalah sahabat yang dapat diandalkan. Yang selalu dan segera memberi peringatan, ketika bahaya mengancam. Inilah yang tampak bila kita meneropong "kesakitan" melalui sebuah "mikroskop"-kasus demi kasus, orang demi orang.
Seperti kesaksian berikut, "Mula-mula sih cuma seperti kesemutan biasa. Tapi begitu saya periksakan ke dokter, dokter mengatakan bahwa saya menderita penyakit jantung akut, yang mesti segera dioperasi. Kesemutan itu sungguh telah menolong saya!". "Untung, ada "rasa sakit"!", bukan?
Namun, tinggalkanlah sejenak mikroskop Anda, lalu naiklah ke "ketinggian" sambil menengok ke sekeliling Anda! Maka yang Anda saksikan adalah kelaparan massal, pembantaian etnik, jutaan anak jalanan yang tanpa masa depan, pengidap HIV/AIDS yang tanpa perawatan, penderita kanker terminal yang mengerang kesakitan. Menyaksikan semua ini, bukankah kita melihat wajah "kesakitan" yang lain?
* * *
PERSOALANNYA bukanlah sekadar mengapa "rasa sakit"-yang merupakan bagian dari sistem penyangga kehidupan-bisa "membandel" keluar dari sistem. Sehingga apa yang semula berfungsi begitu "positif", berubah menjadi "destruktif".
Namun, lebih dalam dari itu, adalah pertanyaan-pertanyaan abadi. Mengapa Atmo sakit, tapi Bimo tidak? Mengapa "aku", mengapa bukan "dia"? Adakah alasan yang masuk akal? Maukah Engkau menjelaskannya, Tuhan?
Di sini keluhan seorang pemazmur menjadi sangat relevan. "Aku cemburu kepada pembual-pembual, sebab kesakitan tidak ada pada mereka. Sehat dan gemuk tubuh mereka. Mereka tidak mengalami kesusahan manusia. Namun sepanjang hari aku kena tulah, dan kena hukum setiap pagi. (Rasa-rasanya) sia-sia sama sekali aku mempertahankan hati yang bersih" (Mazmur 73:3-5; 13-14). Why, my Lord, why?
Sajak William Blake, sebagaimana dikutip oleh Philip Yancey, dengan telak menyimpulkan sisi getir dari eksistensi manusia sejak kelahirannya. Tulisnya, "Ibuku mengerang, ayahku menangis girang, tatkala ke dunia penuh ancaman aku dilemparkan"
"Kesakitan" (mungkin) memang dimaksudkan sebagai sistem pemberi tanda bahaya yang efektif. Namun jelas, ia telah berubah liar tak terkendali.
Karena itu, menurut Yancey, barangkali kita membutuhkan dua kata yang berbeda. Yang pertama adalah "kesakitan" (= pain) untuk yang menunjuk kepada sistem perlindungan tubuh. Dan yang kedua adalah "penderitaan" (= suffering) untuk yang memperlihatkan sisi kelam kenyataan hidup manusia.
Menurut saya, usul ini masuk akal! Sebab pada kasus para pasien lepra, mereka tidak merasakan "kesakitan", tapi toh mengalami banyak sekali "penderitaan". Sementara itu, sekalipun tidak semua orang mengalami "rasa sakit" yang akut, setiap orang pasti mempunyai "penderitaan" atau "salib"nya masing-masing, kekurangan pribadi, hubungan yang pecah, kenangan pahit masa lalu, rasa bersalah yang mengejar.
Pertanyaan kita adalah, "Di manakah Allah ketika rasa sakit menerpa tanpa henti?" "Bagaimana mungkin Ia membiarkannya?" "Katakanlah, Tuhan, apa gunanya?"
* * *
SELAMA berabad-abad, para filsuf sudah memperdebatkan pertanyaan, "Apakah bumi kita ini sudah merupakan kemungkinan yang terbaik?" Artinya, apakah Allah tidak mungkin lagi membuat yang lebih baik? Sebab, ujar Voltaire dalam Candide, "Jika yang seperti ini sudah merupakan yang terbaik, lalu bagaimana lagi dengan yang lainnya?"
Ratusan tahun yang lalu, teolog-teolog raksasa, seperti Agustinus dan Thomas Aquinas, dengan mantap dan seolah-olah tanpa beban menegaskan bahwa Tuhan memang menciptakan bumi kita ini sebagai yang terbaik. Sekarang-menyaksikan parahnya kerusakan alam dan penderitaan manusia-, saya kira hanya mereka yang naif dan picik saja yang dapat dengan mudah membuat penegasan seperti itu.
Namun, toh saya ingin menegaskan satu hal. Benar, dunia kita bukanlah yang terbaik. Namun bila yang Anda pikirkan adalah bahwa dengan menyingkirkan semua bentuk "rasa sakit" dan "penderitaan", maka akan ada hidup yang ideal, Anda salah sangka!
Misalnya, mengapa Allah tidak melenyapkan saja semua bakteri yang ada? Eit, tunggu dulu! Sebab ini bisa menciptakan malapetaka yang jauh lebih besar. Menurut Yancey, sekarang ini ada 24.000 jenis bakteri telah berhasil diidentifikasikan. Dari antaranya, hanya sedikit sekali yang menyebabkan penyakit. Sebaliknya, sekiranya semua bakteri dibasmi habis, maka makanan yang kita telan pun tidak akan dapat dicerna oleh tubuh.
Bagaimana kalau taifun? Yancey mencatat bahwa India dan Bangladesh-dua negara yang paling sering dilanda bencana taifun-telah memperoleh pelajaran yang pahit: tidak ada taifun sepanjang tahun, hujan pun enggan turun sepanjang tahun!
Ketika saya masih remaja, saya pernah mengalami patah kaki. Padahal saya ingin sekali menjadi pemain bola yang hebat. Karena itu saya berkata, "Andaikata saja tulangku lebih kuat!" Waktu itu saya tidak menyadari konsekuensi keinginan saya itu. Bahwa tulang yang lebih kuat juga berarti lebih berat. Lebih berat akan membuat gerak tubuh saya menjadi lebih lamban. Bila lamban, mana mungkin saya bermain bola?
Saya bayangkan, betapa Tuhan harus membuat pilihan-pilihan sulit ketika merancang tubuh manusia. Mana yang lebih baik: kuat tapi lamban, atau lincah tapi rapuh? Dunia yang sempurna-juga dunia yang tanpa kesakitan-itu tidak ada. Yang ada hanyalah pilihan-pilihan. Maksud saya, betapa pun tidak sempurnanya hidup kita, apakah kita punya pilihan atau usulan yang lebih baik? Anda punya?
* * *
JADI, benarkah Allah yang bertanggung jawab atas penderitaan dan kesakitan manusia? Jelaslah bahwa Allah sendiri melakukan pilihan. Dan Ia mengambil keputusan, termasuk segala risikonya, yaitu menciptakan alam dengan "hukum kodrat" yang pasti, sekaligus menciptakan manusia dengan "kehendak bebas".
Kayu misalnya diciptakan oleh Allah keras dan padat. Ini "hukum kodrat"nya. Manusia tidak bisa mengubah "kodrat" ini. Tapi "kehendak bebas" manusia, memberinya pilihan untuk memanfaatkan kayu yang keras itu untuk membangun rumah atau untuk melukai sesamanya.
Tentu saja Allah bisa-mengetahui maksud jahat manusia-lalu mengubah kayu yang keras itu menjadi seperti spons. O, bisa! Tapi ini sengaja tidak dilakukan-Nya. Pertama, karena Ia menghormati "hukum kodrat" yang Ia tetapkan sendiri. Dan kedua, karena Ia juga mau menghormati "kehendak bebas" manusia, yang risikonya memang adalah bebas melakukan kebaikan tapi bebas pula melakukan kejahatan.
Ini, saya tahu, menciptakan banyak persoalan. Tapi sekali lagi, apakah Anda punya alternatif yang lebih baik ketimbang pilihan yang dibuat Allah?
Jadi, apakah Allah-lah yang bertanggungjawab atas penderitaan dan kesakitan manusia di muka bumi? Secara tidak langsung, "ya". Sebab tak ada yang bisa terjadi di muka bumi ini, di luar pengetahuan Allah. Tapi saya mohon dengan sangat Anda ingat baik-baik, bahwa memberikan anak Anda hadiah ulang tahun berupa sebuah sepeda-yang memungkinkannya untuk jatuh dan terluka-adalah sesuatu yang sangat berbeda dibandingkan dengan bila Anda secara sadar dan sengaja membanting anak Anda, dengan maksud melukainya.
Jangan berilusi bahwa ada dunia yang bebas dari kesakitan. Tidak sempurna, memang, tapi kita tak punya pilihan lain.
Karena itu yang paling bijak adalah: pakailah "kehendak bebas" kita sebaik-baiknya. Andaikata kita tidak dapat mengobati secara tuntas luka kita, paling sedikit janganlah memperburuknya. Tidak memperparah luka, ini sepenuhnya ada dalam batas kemampuan dan merupakan tanggung jawab kita! *
Oleh Eka Darmaputera
Ada waktu-waktu tertentu, ketika hidup kita berlangsung mulus. Sepertinya bumi tempat kaki kita berpijak, subur dan hijau semata. Matahari bersinar cerah dan angin sejuk bertiup lembut. Pada saat-saat seperti ini, tidak terlalu sulit untuk mempercayai kebaikan dan kasih Allah.
Namun siapa pun tahu bahwa matahari yang sama itu pula yang telah memanggang Afrika menjadi hamparan gurun dan membuat jutaan orang kelaparan. Bahwa angin yang itu-itu juga, yang tiba-tiba bisa berubah jadi puting beliung, siap menelan apa saja dan siapa saja ke perutnya. Tatkala ini semua berlangsung, masih mampukah kita dengan jujur memuji kebaikan dan kasih Allah?
Tapi apakah kita mampu atau tidak mampu, alam memang tak pernah berwajah satu. Ada kalanya ia laksana ibu yang membelai kepala kita dengan penuh kasih sayang. Kali lain, ia berubah menjadi saudara kita yang liar dan beringas. Bumi kita, walau benar ciptaan Allah, adalah ibarat "Dasamuka"-berwajah sepuluh-sebagian besarnya mengerikan.
Sebut saja makhluk yang bernama "manusia". Spesies ini telah menampilkan orang-orang berhati mulia seperti Gandhi dan Teresa, orang-orang berotak cemerlang seperti Newton dan Einstein, dan orang-orang berdaya cipta luar biasa, seperti Ismail Marzuki dan Affandi. Namun, dari rahimnya pula lahir monster-monster kemanusiaan seperti Hitler dan Idi Amin; serta teroris-teroris berdarah dingin seperti Ali Imron dan Amrozy.
Yang ingin saya katakan adalah semua realitas yang ada di sekitar kita maupun di dalam diri kita senantiasa berwajah ganda, termasuk di dalamnya adalah "RASA SAKIT".
Di satu pihak, "kesakitan" adalah sahabat yang dapat diandalkan. Yang selalu dan segera memberi peringatan, ketika bahaya mengancam. Inilah yang tampak bila kita meneropong "kesakitan" melalui sebuah "mikroskop"-kasus demi kasus, orang demi orang.
Seperti kesaksian berikut, "Mula-mula sih cuma seperti kesemutan biasa. Tapi begitu saya periksakan ke dokter, dokter mengatakan bahwa saya menderita penyakit jantung akut, yang mesti segera dioperasi. Kesemutan itu sungguh telah menolong saya!". "Untung, ada "rasa sakit"!", bukan?
Namun, tinggalkanlah sejenak mikroskop Anda, lalu naiklah ke "ketinggian" sambil menengok ke sekeliling Anda! Maka yang Anda saksikan adalah kelaparan massal, pembantaian etnik, jutaan anak jalanan yang tanpa masa depan, pengidap HIV/AIDS yang tanpa perawatan, penderita kanker terminal yang mengerang kesakitan. Menyaksikan semua ini, bukankah kita melihat wajah "kesakitan" yang lain?
* * *
PERSOALANNYA bukanlah sekadar mengapa "rasa sakit"-yang merupakan bagian dari sistem penyangga kehidupan-bisa "membandel" keluar dari sistem. Sehingga apa yang semula berfungsi begitu "positif", berubah menjadi "destruktif".
Namun, lebih dalam dari itu, adalah pertanyaan-pertanyaan abadi. Mengapa Atmo sakit, tapi Bimo tidak? Mengapa "aku", mengapa bukan "dia"? Adakah alasan yang masuk akal? Maukah Engkau menjelaskannya, Tuhan?
Di sini keluhan seorang pemazmur menjadi sangat relevan. "Aku cemburu kepada pembual-pembual, sebab kesakitan tidak ada pada mereka. Sehat dan gemuk tubuh mereka. Mereka tidak mengalami kesusahan manusia. Namun sepanjang hari aku kena tulah, dan kena hukum setiap pagi. (Rasa-rasanya) sia-sia sama sekali aku mempertahankan hati yang bersih" (Mazmur 73:3-5; 13-14). Why, my Lord, why?
Sajak William Blake, sebagaimana dikutip oleh Philip Yancey, dengan telak menyimpulkan sisi getir dari eksistensi manusia sejak kelahirannya. Tulisnya, "Ibuku mengerang, ayahku menangis girang, tatkala ke dunia penuh ancaman aku dilemparkan"
"Kesakitan" (mungkin) memang dimaksudkan sebagai sistem pemberi tanda bahaya yang efektif. Namun jelas, ia telah berubah liar tak terkendali.
Karena itu, menurut Yancey, barangkali kita membutuhkan dua kata yang berbeda. Yang pertama adalah "kesakitan" (= pain) untuk yang menunjuk kepada sistem perlindungan tubuh. Dan yang kedua adalah "penderitaan" (= suffering) untuk yang memperlihatkan sisi kelam kenyataan hidup manusia.
Menurut saya, usul ini masuk akal! Sebab pada kasus para pasien lepra, mereka tidak merasakan "kesakitan", tapi toh mengalami banyak sekali "penderitaan". Sementara itu, sekalipun tidak semua orang mengalami "rasa sakit" yang akut, setiap orang pasti mempunyai "penderitaan" atau "salib"nya masing-masing, kekurangan pribadi, hubungan yang pecah, kenangan pahit masa lalu, rasa bersalah yang mengejar.
Pertanyaan kita adalah, "Di manakah Allah ketika rasa sakit menerpa tanpa henti?" "Bagaimana mungkin Ia membiarkannya?" "Katakanlah, Tuhan, apa gunanya?"
* * *
SELAMA berabad-abad, para filsuf sudah memperdebatkan pertanyaan, "Apakah bumi kita ini sudah merupakan kemungkinan yang terbaik?" Artinya, apakah Allah tidak mungkin lagi membuat yang lebih baik? Sebab, ujar Voltaire dalam Candide, "Jika yang seperti ini sudah merupakan yang terbaik, lalu bagaimana lagi dengan yang lainnya?"
Ratusan tahun yang lalu, teolog-teolog raksasa, seperti Agustinus dan Thomas Aquinas, dengan mantap dan seolah-olah tanpa beban menegaskan bahwa Tuhan memang menciptakan bumi kita ini sebagai yang terbaik. Sekarang-menyaksikan parahnya kerusakan alam dan penderitaan manusia-, saya kira hanya mereka yang naif dan picik saja yang dapat dengan mudah membuat penegasan seperti itu.
Namun, toh saya ingin menegaskan satu hal. Benar, dunia kita bukanlah yang terbaik. Namun bila yang Anda pikirkan adalah bahwa dengan menyingkirkan semua bentuk "rasa sakit" dan "penderitaan", maka akan ada hidup yang ideal, Anda salah sangka!
Misalnya, mengapa Allah tidak melenyapkan saja semua bakteri yang ada? Eit, tunggu dulu! Sebab ini bisa menciptakan malapetaka yang jauh lebih besar. Menurut Yancey, sekarang ini ada 24.000 jenis bakteri telah berhasil diidentifikasikan. Dari antaranya, hanya sedikit sekali yang menyebabkan penyakit. Sebaliknya, sekiranya semua bakteri dibasmi habis, maka makanan yang kita telan pun tidak akan dapat dicerna oleh tubuh.
Bagaimana kalau taifun? Yancey mencatat bahwa India dan Bangladesh-dua negara yang paling sering dilanda bencana taifun-telah memperoleh pelajaran yang pahit: tidak ada taifun sepanjang tahun, hujan pun enggan turun sepanjang tahun!
Ketika saya masih remaja, saya pernah mengalami patah kaki. Padahal saya ingin sekali menjadi pemain bola yang hebat. Karena itu saya berkata, "Andaikata saja tulangku lebih kuat!" Waktu itu saya tidak menyadari konsekuensi keinginan saya itu. Bahwa tulang yang lebih kuat juga berarti lebih berat. Lebih berat akan membuat gerak tubuh saya menjadi lebih lamban. Bila lamban, mana mungkin saya bermain bola?
Saya bayangkan, betapa Tuhan harus membuat pilihan-pilihan sulit ketika merancang tubuh manusia. Mana yang lebih baik: kuat tapi lamban, atau lincah tapi rapuh? Dunia yang sempurna-juga dunia yang tanpa kesakitan-itu tidak ada. Yang ada hanyalah pilihan-pilihan. Maksud saya, betapa pun tidak sempurnanya hidup kita, apakah kita punya pilihan atau usulan yang lebih baik? Anda punya?
* * *
JADI, benarkah Allah yang bertanggung jawab atas penderitaan dan kesakitan manusia? Jelaslah bahwa Allah sendiri melakukan pilihan. Dan Ia mengambil keputusan, termasuk segala risikonya, yaitu menciptakan alam dengan "hukum kodrat" yang pasti, sekaligus menciptakan manusia dengan "kehendak bebas".
Kayu misalnya diciptakan oleh Allah keras dan padat. Ini "hukum kodrat"nya. Manusia tidak bisa mengubah "kodrat" ini. Tapi "kehendak bebas" manusia, memberinya pilihan untuk memanfaatkan kayu yang keras itu untuk membangun rumah atau untuk melukai sesamanya.
Tentu saja Allah bisa-mengetahui maksud jahat manusia-lalu mengubah kayu yang keras itu menjadi seperti spons. O, bisa! Tapi ini sengaja tidak dilakukan-Nya. Pertama, karena Ia menghormati "hukum kodrat" yang Ia tetapkan sendiri. Dan kedua, karena Ia juga mau menghormati "kehendak bebas" manusia, yang risikonya memang adalah bebas melakukan kebaikan tapi bebas pula melakukan kejahatan.
Ini, saya tahu, menciptakan banyak persoalan. Tapi sekali lagi, apakah Anda punya alternatif yang lebih baik ketimbang pilihan yang dibuat Allah?
Jadi, apakah Allah-lah yang bertanggungjawab atas penderitaan dan kesakitan manusia di muka bumi? Secara tidak langsung, "ya". Sebab tak ada yang bisa terjadi di muka bumi ini, di luar pengetahuan Allah. Tapi saya mohon dengan sangat Anda ingat baik-baik, bahwa memberikan anak Anda hadiah ulang tahun berupa sebuah sepeda-yang memungkinkannya untuk jatuh dan terluka-adalah sesuatu yang sangat berbeda dibandingkan dengan bila Anda secara sadar dan sengaja membanting anak Anda, dengan maksud melukainya.
Jangan berilusi bahwa ada dunia yang bebas dari kesakitan. Tidak sempurna, memang, tapi kita tak punya pilihan lain.
Karena itu yang paling bijak adalah: pakailah "kehendak bebas" kita sebaik-baiknya. Andaikata kita tidak dapat mengobati secara tuntas luka kita, paling sedikit janganlah memperburuknya. Tidak memperparah luka, ini sepenuhnya ada dalam batas kemampuan dan merupakan tanggung jawab kita! *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar